KASUS melawan kemanusiaan yang menyebabkan kematian kembali terjadi. Nyaris redup di tengah naiknya kasus FS dan kini Bjorka.
Padahal, kasus ini tak kurang mirisnya mencederai hak asasi manusia (HAM) kita. Membunuh seolah tak cukup, pelaku pun memutilasi para korban.
Kasus ini dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat (TNI-AD) dan masyarakat sipil terhadap orang asli Papua (OAP). Kejadian berlangsung di Mimika, Papua pada Agustus 2022 lalu.
Motif mengerucut pada dugaan adanya transaksi jual-beli senjata api. Transaksi ilegal ini melibatkan anggota TNI-AD sebagai penjual dan OAP yang terindikasi gerakan perlawanan Papua sebagai pembeli.
Transaksi seperti ini tentu bukan hal yang lumrah, apalagi melibatkan institusi negara. Adalah biasa ketika kita berada dalam konteks Papua, yang merupakan daerah konflik—antara nasionalis Papua dan pemerintah Indonesia.
Ada permintaan dan penawaran dari pihak-pihak yang tentu menganggap (transaksi) ini menguntungkan.
Simbiosis mutualisme terjalin. Pembeli mendapat senjata sebagai alat untuk melakukan perlawanan dan penjual mendapat pundi-pundi yang menggiurkan di luar gaji.
Begitu mutualismenya, praktik ini sudah berulang hingga ada juga yang melibatkan polisi. Bahkan terendus potensi mengarah pada bisnis jual-beli senjata yang masif dan gerilya.
Baca juga: Sederet Fakta Oknum TNI dan Polisi Jual Senjata dan Amunisi ke KKB, Pelaku Terancam Hukuman Mati
Praktik ini sudah pasti menyimpang dari karakteristik birokrasi organisasi negara—yang termasuk di dalamnya adalah TNI-AD.
Sepakat dengan Lefort (1986), pada prinsipnya birokrasi organisasi negara bukan dibentuk untuk menjadi sumber penghasilan atau keuntungan.
Otomatis, secara organ TNI-AD tidak akan mengarah pada hal itu dan tidak dibenarkan pula untuk mengarah pada hal itu. Sifatnya adalah melayani negara dan mendukung struktur negara yang telah berdiri.
Jual-beli senjata terlarang, tapi faktanya terjadi. Alasan lain ini bisa sampai terjadi karena fungsi pengawasan dalam internal TNI-AD tidak berjalan.
Entah benar tidak jalan atau memang praktik itu sudah menjadi rahasia internal yang established (karena menguntungkan).
Rantai komando tampaknya jebol. Padahal, sudah jelas Panglima TNI melarang anggotanya terlibat dalam jual-beli senjata.
Gejala ini menunjukkan ada permasalahan dalam tubuh TNI-AD. Satu komando sangatlah penting dalam birokrasi organisasi negara.
Ditegaskan Lefort (1986), birokrasi organisasi modern mensyaratkan unsur hierarki. Jalannya organisasi berada di bawah integrasi satu komando, yang tentu diatur dalam hukum (undang-undang).
Otoritas lebih tinggi mengendalikan otoritas yang lebih rendah, bukan malah mencari jalan sendiri-sendiri.
Pembunuhan sekaligus mutilasi ini mempertebal luka dan penderitaan bagi OAP yang diterima sejak berintegrasi dengan Indonesia. Hanya ingatan keji atas Indonesia dalam benak mereka.
Kasus ini juga memperkuat dan menambah bukti baru bagi analisis LIPI (Widjojo, dkk, 2009) yang menyatakan bahwa kekerasan politik dan pelanggaran HAM di Papua adalah salah satu akar konflik Papua. Bukan berhenti, justru masih terus berlanjut.
Amnesty International Indonesia (dalam Tempo, 12/09/2022), mencatat selama empat tahun terakhir (2018–2022), ada lebih dari 100 kematian sipil yang dilakukan oleh aparat negara di Papua dan Papua Barat.
Seluruh kasus kematian dilakukan berlawanan dengan hukum. Pelaku TNI menyebabkan 37 kematian sipil dan pelaku polisi menyebabkan 17 kematian sipil.
Negara sepertinya sadar untuk mempertahankan warisan masa lalu: memoria passionis (baca: memori kolektif buruk) atas kekerasan negara pada masyarakat Papua.
Konsekuensinya, mau tak mau, konflik pun akan terlanggengkan. Perlawanan masyarakat Papua akan terus tumbuh dan membara, berujung menimbulkan konflik-konflik turunan lainnya.
Sinyal darurat bagi negara untuk menyelesaikan konflik di Papua. Akar-akar konflik berpotensi melahirkan konflik turunan lainnya—termasuk kasus ini.
Memutus akar konflik adalah solusi untuk menyelesaikan masalah di batang, ranting, dan daunnya.
Konflik selesai berarti pula tak ada lagi yang memanfaatkannya untuk mengisi periuk, termasuk jual-beli senjata.
Seiring dengan ini, prioritas pemerintah lainnya adalah merumuskan kebijakan yang tepat dan strategis untuk mengatasi konflik Papua.
Pendekatan yang digunakan perlu diperhatikan dengan saksama: humanis dan menempatkan masyarakat Papua sebagai subjek kebijakan. Tak kalah fundamental, negara haruslah aman bagi mereka yang ada di dalamnya.
Boucher dan Kelly (eds, 2005) menegaskan tujuan pembentukan negara adalah menjaga keamanan dan menjadi lembaga pelindung bagi orang yang ada di dalamnya.
Setiap orang diyakini memiliki hak dasar yang harus ditegakkan supaya tak saling mencerabut, termasuk hak untuk hidup. Untuk itu pula Indonesia dibentuk. Sudah sepatutnya melakukan upaya-upaya guna menjamin hak dasar tersebut.
Di sisi lain, dalam level institusi, TNI-AD harus berbenah, utamanya aspek pengawasan becermin terhadap anggota-anggotanya yang “bermain” dan memanfaatkan situasi tertentu.
Garis komando harus tegak lurus ke atas, tidak ada anggota yang keluar dari jalur komando Panglima. Hierarki dan integrasi menjadi kunci.
Anggota juga harus menyadari bahwa birokrasi organisasi negara menuntut pengabdian penuh dan kewajiban setia atas pekerjaannya itu.
Komitmen kesetiaan melayani sangat dibutuhkan. Karena bersifat tidak profit, negara telah mengatur untuk menjamin materi tertentu bagi setiap anggotanya yang mencakup standar hidup (Lefort, 1986).
Hal serupa dilakukan Indonesia dengan menjamin gaji per bulan dan tunjangan untuk pensiun bagi anggota.
Demi rasa keadilan, para tersangka harus dipecat dari militer, kemudian menjalankan pengadilan sipil (bukan militer).
Pengadilan sipil dan militer tak dimungkiri memiliki pendekatan yang berbeda dalam menganalisis kasus dan menjatuhkan hukuman.
Anggota (birokrasi organisasi negara) mendapat prestise tertentu yang dijamin oleh organisasinya. Ada hak-hak tertentu yang memang dibolehkan dalam kerangka organisasinya.
Misal, mereka mendapat hak (bahkan kewajiban) untuk membunuh orang yang dianggapnya musuh.
Ini berimplikasi pada perbedaan penerapan hukuman—yang satu menganggap pahlawan (hingga tak perlu dihukum melainkan diberi penghargaan), yang satu menganggap pembunuh sehingga perlu dihukum berat.
Respons negara terhadap kasus ini amat penting. Tindakan tegas dan tepat akan menekan potensi kekerasan oleh aparat negara, sekaligus mengukuhkan citra positif Indonesia di hadapan OAP.
Sebaliknya, apabila negara dan institusi militer mengabaikannya, maka semakin banyak alasan bagi kita—khususnya masyarakat Papua—untuk ragu terhadap komitmen penegakkan hukum serta keadilan, dan termasuk potensial menebalkan rasa keragu-raguan akan masa depan mereka bersama Indonesia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.