Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
R Graal Taliawo
Pegiat Politik Gagasan

Doktor Ilmu Politik dari Universitas Indonesia

 

"Bisnis" Senjata di Tengah Konflik Papua

Kompas.com - 20/09/2022, 09:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KASUS melawan kemanusiaan yang menyebabkan kematian kembali terjadi. Nyaris redup di tengah naiknya kasus FS dan kini Bjorka.

Padahal, kasus ini tak kurang mirisnya mencederai hak asasi manusia (HAM) kita. Membunuh seolah tak cukup, pelaku pun memutilasi para korban.

Kasus ini dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat (TNI-AD) dan masyarakat sipil terhadap orang asli Papua (OAP). Kejadian berlangsung di Mimika, Papua pada Agustus 2022 lalu.

Jual-beli senjata api

Motif mengerucut pada dugaan adanya transaksi jual-beli senjata api. Transaksi ilegal ini melibatkan anggota TNI-AD sebagai penjual dan OAP yang terindikasi gerakan perlawanan Papua sebagai pembeli.

Transaksi seperti ini tentu bukan hal yang lumrah, apalagi melibatkan institusi negara. Adalah biasa ketika kita berada dalam konteks Papua, yang merupakan daerah konflik—antara nasionalis Papua dan pemerintah Indonesia.

Ada permintaan dan penawaran dari pihak-pihak yang tentu menganggap (transaksi) ini menguntungkan.

Simbiosis mutualisme terjalin. Pembeli mendapat senjata sebagai alat untuk melakukan perlawanan dan penjual mendapat pundi-pundi yang menggiurkan di luar gaji.

Begitu mutualismenya, praktik ini sudah berulang hingga ada juga yang melibatkan polisi. Bahkan terendus potensi mengarah pada bisnis jual-beli senjata yang masif dan gerilya.

Baca juga: Sederet Fakta Oknum TNI dan Polisi Jual Senjata dan Amunisi ke KKB, Pelaku Terancam Hukuman Mati

Praktik ini sudah pasti menyimpang dari karakteristik birokrasi organisasi negara—yang termasuk di dalamnya adalah TNI-AD.

Sepakat dengan Lefort (1986), pada prinsipnya birokrasi organisasi negara bukan dibentuk untuk menjadi sumber penghasilan atau keuntungan.

Otomatis, secara organ TNI-AD tidak akan mengarah pada hal itu dan tidak dibenarkan pula untuk mengarah pada hal itu. Sifatnya adalah melayani negara dan mendukung struktur negara yang telah berdiri.

Jual-beli senjata terlarang, tapi faktanya terjadi. Alasan lain ini bisa sampai terjadi karena fungsi pengawasan dalam internal TNI-AD tidak berjalan.

Entah benar tidak jalan atau memang praktik itu sudah menjadi rahasia internal yang established (karena menguntungkan).

Rantai komando tampaknya jebol. Padahal, sudah jelas Panglima TNI melarang anggotanya terlibat dalam jual-beli senjata.

Gejala ini menunjukkan ada permasalahan dalam tubuh TNI-AD. Satu komando sangatlah penting dalam birokrasi organisasi negara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com