Terlebih lagi, ketidakcermatan dapat terlihat dalam penulisan Pasal 3 dan 4 Perjanjian FIR, yang berfokus dalam pengaturan mengenai dua perjanjian turunan dari Perjanjian FIR.
Pasal 3 mengatur bahwa penyedia jasa navigasi udara Indonesia dan Singapura wajib membuat perjanjian yang ditujukan untuk mendetailkan prosedur koordinasi antar penyedia jasa dalam mengelola Ruang Udara Indonesia yang tergabung dalam FIR Singapura.
Memang betul, bahwa ketentuan Pasal 3 itu penting untuk menjamin lalu lintas penerbangan yang aman, tertib dan cepat pada rute – rute udara di FIR Singapura.
Namun, tidak ada pasal dalam perjanjian tersebut yang mewajibkan otoritas kedua negara untuk membuat perjanjian lebih lanjut tentang prosedur pemberian diplomatic & security clearance bagi pesawat udara asing tidak berjadwal yang melakukan lalu lintas penerbangan di Ruang Udara Indonesia yang didelegasikan ke FIR Singapura.
Baca juga: Luhut: Perjanjian FIR Berjangka Waktu 25 Tahun, Dievaluasi Tiap 5 Tahun
Kesempatan emas yang terlewat ini idealnya penting untuk diatur, untuk menjamin berkurangnya jumlah pelanggaran wilayah udara Indonesia yang terjadi pada ruang udara yang dikelola oleh Singapura.
Pasal 3 Perjanjian FIR juga mengatur mengenai Civil-Military Cooperation (CMC) Framework, yang sejak diumumkannya penandatanganan Perjanjian FIR selalu dibanggakan sebagai salah satu keberhasilan dari perjanjian tersebut.
Menurut apa yang diatur dalam Pasal 3, CMC Framework dibuat dengan tujuan memfasilitasi penerbangan pesawat udara negara Indonesia, dan akan dilakukan dengan cara menempatkan personel militer Indonesia pada Singapore Air Traffic Control Center (SATCC).
Namun, ketentuan dalam Pasal 3 itu, jika dilihat bersamaan dengan Pasal 4 paragraf 1 mengenai prioritas penerbangan, kembali melewatkan kesempatan emas untuk menjamin prioritas bagi lalu lintas penerbangan militer Indonesia.
Padahal, prioritas itu penting untuk menjamin pertahanan negara Indonesia dengan cara memberikan prioritas akses untuk mendarat dan tinggal landas di pangkalan–pangkalan Udara TNI AU di sekitar wilayah Kepulauan Riau.
Masyarakat dan pemerintah seharusnya juga tidak lupa bahwa prioritas untuk lalu lintas penerbangan militer adalah janji yang dapat ditagihkan kepada Singapura, berdasarkan komitmen yg dibuat saat South East Asia Regional Air Navigation Meeting Tahun 1948.
Hal lain yang sangat merugikan Indonesia dalam Perjanjian FIR itu adalah mengenai jangka waktu pelaksanaan perjanjian.
Pada tahun 1995, ketika Perjanjian FIR pertama usai dirancang dan ditandatangani, perjanjian tersebut mengatur bahwa jangka waktu pendelegasian kembali dibatasi hingga lima tahun sejak perjanjian mulai berlaku, dan dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi dan review.
Pendekatan yang jauh berbeda diambil oleh Perjanjian FIR 2022. Pasal 7 yang mengatur mengenai jangka waktu berlakunya perjanjian mengatur tiga hal.
Paragraf pertama mengatur bahwa jangka waktu perjanjian untuk pendelegasian adalah 25 tahun sejak perjanjian berlaku, dan akan diperpanjang apabila Indonesia dan Singapura merasakan manfaat untuk melakukan.
Ketentuan itu diikuti dengan paragraf dua, yang menentukan pelaksanaan evaluasi operasional setiap lima tahun berdasarkan permintaan salah satu pihak perjanjian.