JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan narapidana korupsi boleh mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Pemilu 2024.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mantan napi yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif hanya perlu membuat keterangan pernah dipenjara sebagai syarat administratif pencalonan.
"Surat pernyataan bermeterai bagi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang tidak pernah dipidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan bagi calon yang pernah dijatuhi pidana," demikian bunyi Pasal 240 Ayat (2) huruf c UU Pemilu.
Baca juga: Kala 23 Koruptor Dibebaskan Bersyarat, Korupsi Tak Lagi Jadi Kejahatan Luar Biasa?
Kemudian, eks koruptor yang hendak menjadi peserta Pemilu 2024 bakal diwajibkan mengumumkan statusnya sebagai mantan narapidana melalui media massa.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu pun mengakui belum akan membuat larangan eks napi korupsi mencalonkan diri sebagai legislator pada pemilu mendatang. Mengapa demikian?
Komisioner KPU RI Idham Holik menjelaskan, dalam membuat aturan penyelenggaraan pemilu, pihaknya berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Hak untuk dipilih, ujar Idham, sedianya telah diatur dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan:
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Lalu, Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Baca juga: 23 Koruptor Bebas, KPK Minta Tidak Ada Perlakuan Khusus
Kemudian, kata Idham, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah mengatur hak untuk memilih dan dipilih.
Pasal 43 Ayat (1) UU HAM pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu. Bunyinya sebagai berikut:
Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, Pasal 73 UU HAM mengatur soal pembatasan dan larangan hak serta kebebasan setiap warga. Bunyinya yakni:
Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
"Dalam konteks hal ini, maka menjadi penting bagi kita untuk menelaah Pasal 43 Ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 dan Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999," kata Idham kepada Kompas.com, Minggu (11/9/2022).
Baca juga: Penjara Singkat Pinangki dan Koruptor Dapat Bebas Bersyarat Disebut Hilangkan Efek Jera