Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan KPU Izinkan Eks Napi Korupsi Jadi Calon Anggota Legislatif Pemilu 2024...

Kompas.com - 12/09/2022, 05:30 WIB
Fitria Chusna Farisa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan narapidana korupsi boleh mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Pemilu 2024.

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mantan napi yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif hanya perlu membuat keterangan pernah dipenjara sebagai syarat administratif pencalonan.

"Surat pernyataan bermeterai bagi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang tidak pernah dipidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan bagi calon yang pernah dijatuhi pidana," demikian bunyi Pasal 240 Ayat (2) huruf c UU Pemilu.

Baca juga: Kala 23 Koruptor Dibebaskan Bersyarat, Korupsi Tak Lagi Jadi Kejahatan Luar Biasa?

Kemudian, eks koruptor yang hendak menjadi peserta Pemilu 2024 bakal diwajibkan mengumumkan statusnya sebagai mantan narapidana melalui media massa.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu pun mengakui belum akan membuat larangan eks napi korupsi mencalonkan diri sebagai legislator pada pemilu mendatang. Mengapa demikian?

Alasan HAM

Komisioner KPU RI Idham Holik menjelaskan, dalam membuat aturan penyelenggaraan pemilu, pihaknya berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Hak untuk dipilih, ujar Idham, sedianya telah diatur dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan:
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Lalu, Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Baca juga: 23 Koruptor Bebas, KPK Minta Tidak Ada Perlakuan Khusus

Kemudian, kata Idham, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah mengatur hak untuk memilih dan dipilih.

Pasal 43 Ayat (1) UU HAM pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu. Bunyinya sebagai berikut:

Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian, Pasal 73 UU HAM mengatur soal pembatasan dan larangan hak serta kebebasan setiap warga. Bunyinya yakni:

Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.

"Dalam konteks hal ini, maka menjadi penting bagi kita untuk menelaah Pasal 43 Ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 dan Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999," kata Idham kepada Kompas.com, Minggu (11/9/2022).

Baca juga: Penjara Singkat Pinangki dan Koruptor Dapat Bebas Bersyarat Disebut Hilangkan Efek Jera

Sempat dilarang

Polemik pencalonan mantan napi korupsi sebagai anggota legislatif juga pernah ramai jelang Pemilu 2019 lalu.

Saat itu, KPU melarang eks koruptor mencalonkan diri sebagai peserta Pemilu 2019. Larangan itu diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.

Sebagaian pihak menyambut baik aturan tersebut, namun sebagian lain mengkritik.

Norma larangan napi korupsi mencalonkan diri di Pemilu 2019 itu pun digugat oleh sejumlah pihak, di antaranya para mantan napi korupsi.

Akhirnya, PKPU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan itu bertentangan dengan UU Pemilu.

"Itu bertentangan dengan UU Pemilu. UU Pemilu kan membolehkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu," kata Juru Bicara MA Suhadi kepada Kompas.com, Jumat (14/9/2018).

"Tapi kalau PKPU kan menutup sama sekali kan. Bertentangan atau enggak itu? Ya kalau menurut MA ya bertentangan," lanjutnya.

Putusan MA ini, kata Idham, juga menjadi salah satu pertimbangan KPU tak melarang napi korupsi mencalonkan diri di pemilu.

"Putusan MA adalah bersifat final dan mengikat. Kami wajib melaksanakan Putusan MA," jelas Idham.

Belum akan diatur

Idham pun memastikan bahwa KPU belum akan membuat aturan yang melarang mantan napi korupsi mencalonkan diri pada Pemilu 2024.

Menurutnya, untuk membuat aturan itu, diperlukan revisi undang-undang terkait.

"Kecuali ada UU yang mengatur lain," kata Idham.

"Sampai saat ini UU Nomor 7 Tahun 2017 khususnya Pasal 240 Ayat (1) huruf g masih berlaku," tandasnya.

Baca juga: KPU Akan Syaratkan SKCK untuk Pendaftaran Calon Anggota DPR Pemilu 2024

Nantinya, kata Idham, eks napi korupsi yang hendak mencalonkan diri pada Pemilu 2024 akan diwajibkan mengumumkan statusnya sebagai mantan narapidana.

Pada Pemilu 2019 lalu, aturan ini tertuang dalam Pasal 45A Ayat (2) PKPU Nomor 31 Tahun 2018.

"Melampirkan surat keterangan dari kepala lembaga pemasyarakatan yang menerangkan bahwa bakal calon yang bersangkutan telah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap," kata Idham kepada Kompas.com, Selasa (23/8/2022).

Selain itu, kata Idham, calon anggota DPR eks napi korupsi juga akan diwajibkan melampirkan salinan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Caleg eks koruptor juga bakal diminta melampirkan surat dari pemimpin redaksi media massa lokal maupun nasional bukti dimuatnya pemberitaan tentang status caleg sebagai mantan narapidana kasus korupsi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Soal Duetnya di Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya di Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com