Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani menyampaikan pemberhentian Suharso diputuskan berdasarkan hasil Mukernas di Banten, Minggu (4/9/2022).
Ia menjelaskan musyawarah dihadiri oleh 30 dari total 34 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP.
Usulan untuk mengganti Suharso didasari oleh keinginan para kader meningkatkan elektabilitas partai yang dirasa tak optimal di bawah kepemimpinan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas itu.
“Barangkali teman-teman di bawah itu juga menginginkan itu karena selama ini, misalnya, kok merasa survei PPP (tidak) meningkat,” paparnya ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (5/9/2022).
Baca juga: PPP Klaim Telah Berkomunikasi dengan Suharso soal Penggantiannya sebagai Ketua Umum
“Meskipun kerja-kerja konsolidasi itu sudah banyak dilakukan,” ucapnya.
Ia mengklaim Suharso telah mengetahui wacana pemberhentiannya dan saat ini tengah berkomunikasi untuk ditempatkan pada jabatan lain.
“Kita ingin tempatkan beliau di posisi terhormat tapi tidak di puncak eksekutif partai,” tandasnya.
Persoalan yang dialami PPP bukan hanya soal konflik internal. Namun, mereka nampak kesulitan berebut suara dengan partai-partai politik lain.
PPP berdiri dari hasil peleburan 4 partai politik, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), serta Partai Muslim Indonesia (Parmusi).
Kebijakan fusi itu diterapkan oleh rezim Orde Baru pada 1973 dengan alasan menyederhanakan sistem partai politik.
Dalam pemilihan umum pada masa Orde Baru, perolehan suara PPP selalu berada pada nomor 2.
Saat itu Golkar selalu memenangkan 5 Pemilu di masa Orde Baru. Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) selalu berada di urutan terbawah.
Baca juga: Waketum PPP Sebut KIB Tetap Solid meski Suharso Monoarfa Tak Lagi Jabat Ketum
Rezim Orde Baru yang tumbang dalam Reformasi 1998 juga membawa perubahan di dunia politik Indonesia.
Dalam Pemilu 1999, perolehan suara PPP turun ke posisi 4 dengan 11.313.037 atau 10,72 persen. Saat itu mereka mendapatkan 58 kursi di DPR.
Perolehan suara PPP dalam Pemilu 2004 menurun dari 1999. Saat itu partai berlambang Ka'bah itu meraih 9.248.764 (8,15 persen) dan mendapatkan 58 kursi di DPR.
Pada Pemilu 2009, perolehan suara PPP kembali menurun dengan 5.544.332 (5,33 persen) dan 38 kursi di DPR.
Perolehan suara PPP sempat naik di Pemilu 2014, yakni dengan 8.152.957 (6,53 persen) dan 39 kursi di DPR.
Akan tetapi, perolehan suara PPP kembali turun pada Pemilu 2019 yakni dengan 6.323.147 (4,52 persen) dan 19 kursi di DPR.
Perolehan suara PPP yang semakin menurun karena diduga mereka kerepotan bersaing dengan sejumlah partai politik bercorak Islam lainnya.
Sebab, pada masa Orde Baru, PPP menjadi simbol partai politik bagi umat Islam di Indonesia. Setelah Reformasi, partai politik yang dinilai dekat dengan ormas sosial kemasyarakatan keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah lahir.
Alhasil, ceruk suara umat Islam Indonesia yang tadinya dikuasai PPP kini diperebutkan oleh partai-partai lain.
Kondisi itu justru diperparah dengan konflik di antara pengurus PPP. Contohnya dualisme kepengurusan antara kubu Suryadharma Ali (SDA) dan M. Romahurmuziy yang terjadi sejak 2014 dan baru berakhir menjelang Pemilu 2019.