Ketika itu sejumlah partai politik di Timor Timur mempunyai perbedaan prinsip.
Partai Frente Revolutionaria de Timor Leste Independente (Fretilin) yang menjadi tempat bernaung Ramos Horta dan Xanana Gusmao menginginkan supaya segera memproklamasikan merdeka.
Sedangkan Partai Uniau Democratica Timorense (UDT) dan Associacao Populer Democratica Timorense (Apodeti) menolak gagasan itu dan condong untuk bergabung dengan Indonesia.
Karena perbedaan prinsip politik masing-masing kelompok semakin tajam, mereka kemudian memperjuangkan aspirasi dengan kekerasan yang berujung perang saudara.
Partai Fretilin yang mempunyai sayap milisi Falintil menguasai banyak wilayah. Mereka kemudian mendeklarasikan sepihak kemerdekaan Republik Demokratik Timor Timur pada 28 November 1975.
Hal itu membuat Apodeti murka dan meminta bantuan Indonesia untuk mengambil alih Timor Timur.
Baca juga: Indonesia di Mata Presiden Timor Leste: Negara Paling Toleran
Indonesia kemudian menggelar operasi militer dengan sandi Operasi Seroja pada 7 Desember 1975. Invasi itu berlangsung hingga 17 Juli 1976.
Salah satu alasan pemerintah Indonesia saat itu untuk menyerbu dan menduduki Timor Timur adalah mencegah pengaruh ideologi sayap kiri yang diusung Fretilin berkembang di daerah itu.
Bersamaan dengan berakhirnya invasi, Indonesia menetapkan Timor Timur sebagai provinsi ke-27.
Meski sudah menjadi provinsi ke-27, gerilyawan Fretilin masih terus melakukan gerilya.
Situasi berbalik pada 1998 ketika gelombang demonstrasi menuntut reformasi akhirnya membuat Presiden Suharto menyatakan berhenti dan rezim Orde Baru berakhir.
Saat itu, tekanan sejumlah negara terhadap Indonesia terkait persoalan Timor Leste di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) semakin menguat.
Posisi Indonesia semakin sulit karena krisis ekonomi melebar ke bidang politik dan sosial, termasuk urusan Timor Timur.
Baca juga: Bertemu Presiden Timor Leste, PBNU Ingin Kerja Sama di Bidang Kemanusiaan
Akhirnya, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie yang menggantikan Suharto memberikan 2 pilihan, yaitu otonomi khusus atau memisahkan diri kepada penduduk Timor Timur.
PBB kemudian membentuk misi perdamaian yang bertugas melaksanakan jajak pendapat bagi masyarakat Timor Timur pada 30 Agustus 1999.
Hasilnya, sebanyak 78,5 persen memilih untuk memisahkan diri, sementara kubu pro integrasi mendapat 21,5 persen suara.
Pada 20 Mei 2002, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara merdeka dengan nama Timor Leste.
Setelah merdeka dan terjadi dinamika politik, Ramos Horta dan Xanana Gusmao yang menjadi sahabat karibnya berpisah dari Fretilin, dan memutuskan mendirikan Partai Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor (CNRT) sejak 2007.
(Penulis : Widya Lestari Ningsih, Fika Nurul Ulya, Dian Erika Nugraheny | Editor : Nibras Nada Nailufar, Diamanty Meiliana)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.