Ia pun kembali menyapa Gus Dur setelah acara tersebut selesai, bahkan berjalan beriringan mengunjungi sejumlah stan di dalam kongres.
Setelah rangkaian acara kongres selesai, Ramos Horta mengaku kerap berhubungan dengan Gus Dur.
"Dia berbicara sangat sederhana. Dia bicara soal Timor Leste, saya terkejut dan bahagia. Tokoh Indonesia pertama yang berbicara tentang Timor Leste," tuturnya.
Ramos Horta akhirnya punya kesempatan bertemu lagi dengan Gus Dur saat Timor Leste sudah berpisah dari Indonesia.
Saat itu, Gus Dur menjabat sebagai Presiden ke-4 RI dan Xanana Gusmao menjabat sebagai Presiden pertama Timor Leste.
Baca juga: SBY dan Ramos Horta Bicarakan Hubungan Bilateral Indonesia-Timor Leste
Ramos Horta tak menyebut jelas agenda apa sehingga petinggi Timor Leste datang ke Indonesia. Namun, saat dirinya dan Xanana hendak kembali ke Timor Leste, Gus Dur mengantar mereka.
Gus Dur disebut menyempatkan diri datang ke bandara melepas kepergian Xanana dan rombongan.
Momen itu lantas dimanfaatkan Ramos Horta untuk bertanya dan mengingat kembali pertemuan pertama di tahun 1980-an dengan Gus Dur.
Ternyata, kata Ramos Horta, Gus Dur mengingat peristiwa itu dengan jelas.
"Ternyata dia sangat detail mengingat di mana kami bertemu, dibandingkan ingatan saya. Di mana acara itu berlangsung. Jadi dia ingat semuanya. Dia adalah manusia yang hebat, pemimpin moral yang hebat, bukan hanya bagi Indonesia tapi juga dunia," katanya.
Kenangan-kenangan dengan Gus Dur itulah yang membuat Ramos Horta menyambangi kantor PBNU di sela-sela kunjungan kenegaraan.
Dia juga menyambangi kantor Muhammadiyah dan mengusulkan keduanya menjadi penerima Nobel Perdamaian.
Menurutnya, NU dan Muhammadiyah layak atas penghargaan tersebut karena sudah terbukti memiliki peran dalam beragam isu kemanusiaan.
Baca juga: Kunjungan ke UI, Ramos Horta: Indonesia Sangat Penting bagi Timor Leste
"Dua organisasi ini sangat layak mendapatkan Nobel perdamaian. Saya melihat sejak dahulu NU dan Muhammadiyah mempunyai peran yang sangat penting dalam menyuarakan perdamaian,” kata Ramos Horta saat berkunjung ke Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (20/7/2022) lalu.
Berpisah
Pada 1970-an, Ramos Horta adalah salah satu tokoh pro kemerdekaan Timor Leste.
Kala itu dia bergabung dengan Partai Fretilin yang memang sejalan dengan pemikirannya yang menginginkan kemerdekaan tanah kelahirannya.
Setelah Perang Dunia II berakhir, wilayah Timor Timur (sebelum merdeka) yang sempat dikuasai Jepang kembali ke tangan Portugal.
Akan tetapi, pada 1974 terjadi kudeta di Portugal yang dilakukan Jenderal Antonio de Spinola yang menggulingkan pemerintahan rezim Estado Novo yang saat itu dipimpin Presiden Americo Tomas dan Perdana Menteri Marcello Caetano.
Baca juga: Muhammadiyah Dukung Timor Leste Jadi Anggota Negara Asean
Setelah merebut kekuasaan, Spinol yang dilantik menjadi Presiden menerapkan kebijakan dekolonisasi daera-daerah jajahannya, termasuk Timor Timur.