Salin Artikel

Nostalgia Ramos Horta di Jakarta, Melihat Lagi Alasan Timor Leste Berpisah dari Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta kembali menginjakkan kaki di Indonesia setelah terpilih pada pemilihan umum di negaranya Mei 2022 lalu.

Dalam kunjungannya, mantan Perdana Menteri Timor Leste itu juga berbagi kenangannya saat bertandang ke Jakarta di masa lalu.

Ramos Horta datang ke Indonesia pada Selasa (19/7/2022) lalu. Dia langsung menemui Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor.

Saat memberikan sambutan di Istana Kepresidenan Bogor, Ramos Horta mengatakan sering berkunjung ke Jakarta sebelum Timor Leste merdeka.

Kunjungan pertama Ramos Horta ke Jakarta dilakukan pada 1974. Saat itu, dia bertemu dengan Menteri Luar Negeri Adam Malik.

"Saya sudah sering ke Indonesia untuk beberapa keperluan. Pertama kalinya, saya ke sini tahun 1974. Saat itu saya ketemu Pak Malik," ujar Ramos Horta.

"Dan saat itu hanya ada tiga hotel besar di Indonesia. Hotel Indonesia, Kartika Plaza dan Kartika Chandra. Saya tidak menginap di hotel-hotel itu. Tapi saya menginap di losmen," kata Ramos Horta sambil tertawa yang juga disambut tawa oleh Jokowi dan delegasi yang hadir.

Ramos Horta juga mengenang saat dia menyempatkan diri berkeliling Kota Jakarta dengan menumpang becak.

Selain sering mengunjungi Indonesia, Ramos Horta juta mengaku berkawan akrab dengan salah satu kepala daerah, yakni Gubernur El Tari.

El Tari merupakan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 1966-1978.

Di sela-sela kunjungan, mantan anggota Partai Fretilin itu turut bertandang ke kediaman Presiden Ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Bahkan SBY menghadiahkan sebuah lukisan karyanya yang berjudul The Ocean of Peace and Friendship kepada Ramos Horta.

Gus Dur dan referendum

Ramos Horta juga menyempatkan bertandang ke kantor Kompas Gramedia pada Rabu (20/7/2022).

Dalam wawancara dengan Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosiana Silalahi, dia mengingat sosok Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terkait referendum yang membuka jalan bagi kemerdekaan Timor Leste.

Menurut Ramos Horta, sebelum menjadi presiden Indonesia, Gus Dur adalah salah satu tokoh yang membahas tentang referendum Timor Leste.

Dia mengatakan, percakapan dengan Gus Dur terkait referendum terjadi dalam kongres yang diorganisir oleh organisasi Katolik nirlaba, CCFD-Terre Solidaire, di Perancis pada 1980-an.

Gus Dur, kata Ramos Horta, saat itu hadir sebagai undangan.

"(Dalam kongres tersebut) dia (Gus Dur) bilang, 'ada orang yang ingin kemerdekaan, ada yang tidak. Ayo kita adakan referendum'. Ya, dia (orang pertama yang berbicara) mengenai referendum. Saya terkejut," kata Ramos Horta dalam program "Rosi", seperti dikutip pada Kamis (22/7/2022).

Ramos Horta mengaku terkejut dengan pernyataan Gus Dur soal gagasan referendum itu.

Ia pun kembali menyapa Gus Dur setelah acara tersebut selesai, bahkan berjalan beriringan mengunjungi sejumlah stan di dalam kongres.

Setelah rangkaian acara kongres selesai, Ramos Horta mengaku kerap berhubungan dengan Gus Dur.

"Dia berbicara sangat sederhana. Dia bicara soal Timor Leste, saya terkejut dan bahagia. Tokoh Indonesia pertama yang berbicara tentang Timor Leste," tuturnya.

Ramos Horta akhirnya punya kesempatan bertemu lagi dengan Gus Dur saat Timor Leste sudah berpisah dari Indonesia.

Saat itu, Gus Dur menjabat sebagai Presiden ke-4 RI dan Xanana Gusmao menjabat sebagai Presiden pertama Timor Leste.

Ramos Horta tak menyebut jelas agenda apa sehingga petinggi Timor Leste datang ke Indonesia. Namun, saat dirinya dan Xanana hendak kembali ke Timor Leste, Gus Dur mengantar mereka.

Gus Dur disebut menyempatkan diri datang ke bandara melepas kepergian Xanana dan rombongan.

Momen itu lantas dimanfaatkan Ramos Horta untuk bertanya dan mengingat kembali pertemuan pertama di tahun 1980-an dengan Gus Dur.

Ternyata, kata Ramos Horta, Gus Dur mengingat peristiwa itu dengan jelas.

"Ternyata dia sangat detail mengingat di mana kami bertemu, dibandingkan ingatan saya. Di mana acara itu berlangsung. Jadi dia ingat semuanya. Dia adalah manusia yang hebat, pemimpin moral yang hebat, bukan hanya bagi Indonesia tapi juga dunia," katanya.

Kenangan-kenangan dengan Gus Dur itulah yang membuat Ramos Horta menyambangi kantor PBNU di sela-sela kunjungan kenegaraan.

Dia juga menyambangi kantor Muhammadiyah dan mengusulkan keduanya menjadi penerima Nobel Perdamaian.

Menurutnya, NU dan Muhammadiyah layak atas penghargaan tersebut karena sudah terbukti memiliki peran dalam beragam isu kemanusiaan.

"Dua organisasi ini sangat layak mendapatkan Nobel perdamaian. Saya melihat sejak dahulu NU dan Muhammadiyah mempunyai peran yang sangat penting dalam menyuarakan perdamaian,” kata Ramos Horta saat berkunjung ke Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (20/7/2022) lalu.

Berpisah

Pada 1970-an, Ramos Horta adalah salah satu tokoh pro kemerdekaan Timor Leste.

Kala itu dia bergabung dengan Partai Fretilin yang memang sejalan dengan pemikirannya yang menginginkan kemerdekaan tanah kelahirannya.

Setelah Perang Dunia II berakhir, wilayah Timor Timur (sebelum merdeka) yang sempat dikuasai Jepang kembali ke tangan Portugal.

Akan tetapi, pada 1974 terjadi kudeta di Portugal yang dilakukan Jenderal Antonio de Spinola yang menggulingkan pemerintahan rezim Estado Novo yang saat itu dipimpin Presiden Americo Tomas dan Perdana Menteri Marcello Caetano.

Setelah merebut kekuasaan, Spinol yang dilantik menjadi Presiden menerapkan kebijakan dekolonisasi daera-daerah jajahannya, termasuk Timor Timur.

Ketika itu sejumlah partai politik di Timor Timur mempunyai perbedaan prinsip.

Partai Frente Revolutionaria de Timor Leste Independente (Fretilin) yang menjadi tempat bernaung Ramos Horta dan Xanana Gusmao menginginkan supaya segera memproklamasikan merdeka.

Sedangkan Partai Uniau Democratica Timorense (UDT) dan Associacao Populer Democratica Timorense (Apodeti) menolak gagasan itu dan condong untuk bergabung dengan Indonesia.

Karena perbedaan prinsip politik masing-masing kelompok semakin tajam, mereka kemudian memperjuangkan aspirasi dengan kekerasan yang berujung perang saudara.

Partai Fretilin yang mempunyai sayap milisi Falintil menguasai banyak wilayah. Mereka kemudian mendeklarasikan sepihak kemerdekaan Republik Demokratik Timor Timur pada 28 November 1975.

Hal itu membuat Apodeti murka dan meminta bantuan Indonesia untuk mengambil alih Timor Timur.

Indonesia kemudian menggelar operasi militer dengan sandi Operasi Seroja pada 7 Desember 1975. Invasi itu berlangsung hingga 17 Juli 1976.

Salah satu alasan pemerintah Indonesia saat itu untuk menyerbu dan menduduki Timor Timur adalah mencegah pengaruh ideologi sayap kiri yang diusung Fretilin berkembang di daerah itu.

Bersamaan dengan berakhirnya invasi, Indonesia menetapkan Timor Timur sebagai provinsi ke-27.

Meski sudah menjadi provinsi ke-27, gerilyawan Fretilin masih terus melakukan gerilya.

Situasi berbalik pada 1998 ketika gelombang demonstrasi menuntut reformasi akhirnya membuat Presiden Suharto menyatakan berhenti dan rezim Orde Baru berakhir.

Saat itu, tekanan sejumlah negara terhadap Indonesia terkait persoalan Timor Leste di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) semakin menguat.

Posisi Indonesia semakin sulit karena krisis ekonomi melebar ke bidang politik dan sosial, termasuk urusan Timor Timur.

Akhirnya, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie yang menggantikan Suharto memberikan 2 pilihan, yaitu otonomi khusus atau memisahkan diri kepada penduduk Timor Timur.

PBB kemudian membentuk misi perdamaian yang bertugas melaksanakan jajak pendapat bagi masyarakat Timor Timur pada 30 Agustus 1999.

Hasilnya, sebanyak 78,5 persen memilih untuk memisahkan diri, sementara kubu pro integrasi mendapat 21,5 persen suara.

Pada 20 Mei 2002, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara merdeka dengan nama Timor Leste.

Setelah merdeka dan terjadi dinamika politik, Ramos Horta dan Xanana Gusmao yang menjadi sahabat karibnya berpisah dari Fretilin, dan memutuskan mendirikan Partai Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor (CNRT) sejak 2007.

(Penulis : Widya Lestari Ningsih, Fika Nurul Ulya, Dian Erika Nugraheny | Editor : Nibras Nada Nailufar, Diamanty Meiliana)

https://nasional.kompas.com/read/2022/07/22/15531701/nostalgia-ramos-horta-di-jakarta-melihat-lagi-alasan-timor-leste-berpisah

Terkini Lainnya

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke