JAKARTA, KOMPAS.com - Seluruh masyarakat berharap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) buat mengganti KUHP yang saat ini berlaku bisa diselesaikan.
KUHP yang saat ini masih berlaku merupakan warisan pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan beberapa isinya dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Proses penyusunan RKUHP sudah memakan waktu 58 tahun, sejak dimulai pada 1964 silam. Bahkan beberapa pakar hukum yang ikut melakukan rekodifikasi sudah almarhum.
Penyusunan RKUHP juga tidak dilakukan dari nol, tetapi para pakar memilih jalan melakukan rekodifikasi dan menambah penjelasan pada tiap pasal.
Di sisi lain, masyarakat berharap sejumlah aturan pidana dalam RKUHP dibuat dengan gagasan memberi kepastian hukum tanpa ada pasal-pasal yang dinilai kontroversial.
Proses pembahasan RKUHP saat ini berada di antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) serta Komisi III DPR.
Baca juga: Ketua Komisi III: Kalau RKUHP Ugal-ugalan, Bisa Judicial Review
RKUHP sempat akan disahkan pada 2019 lalu, tetapi tidak jadi dilakukan karena penolakan masyarakat dan mahasiswa yang memicu aksi unjuk rasa besar-besaran di sejumlah kota.
Pembahasan RKUHP kembali dilanjutkan tahun ini. Namun, menurut catatan kelompok masyarakat sipil terdapat sejumlah aturan yang dinilai berpotensi sebagai kriminalisasi.
Salah satunya adalah soal pidana penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden serta pidana penghinaan lembaga negara dan kekuasaan.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan memang tidak mudah dalam menyusun dan meneliti kembali RKUHP sebelum diserahkan kepada DPR. Apalagi RKUHP berisi 628 pasal yang beberapa di antaranya ada yang saling terkait.
Eddy, sapaan Edward, mengatakan tidak bisa membuka draf RKUHP kepada masyarakat sebelum diserahkan ke DPR.
"Mengapa kita belum serahkan? Itu masih banyak typo. Dibaca, kita baca," kata Eddy.
Baca juga: Pemerintah Jawab Mahasiswa yang Desak Draf Terbaru RKUHP Dibuka
Eddy mencontohkan ada pasal yang dihapus tetapi ternyata masih ada pasal lain yang merujuk pada pasal yang dihapus tadi. Hal itu ingin mereka hindari, sehingga proses pembacaan draf masih terus dilakukan.
Dia juga tidak ingin jika RKUHP disahkan oleh DPR bernasib seperti UU Cipta Kerja.
"Kita enggak mau seperti waktu UU Cipta kerja itu terjadi lho. Bilang ayat sekian, padahal enggak ada ayatnya. Itu yang bikin lama di situ," ujar Eddy.