JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo meneken Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada 16 Juni 2022.
Dilansir dari salinan UU Nomor 13 yang diunggah di laman resmi Sekretariat Presiden, Senin (20/6/2022), diatur soal pembentukan UU dengan metode omnibus law.
Aturan itu tercantum pada Pasal 42 A, yang berbunyi,"Penggunaan metode omnibus law dalam penyusunan suatu rancangan peraturan perundang-undangan harus dapat ditetapkan dalam dokumen perencanaan".
Baca juga: Tolak Revisi UU PPP, Partai Buruh Janji Bakal Ajukan Gugatan ke MK dan Demo Besar-besaran
Kemudian, UU ini juga mengatur teknis pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden.
Aturan ini tercantum pada Pasal 72 ayat (1) yang berbunyi "Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden untuk disahkan menjadi undang-undang,".
Kemudian pada Pasal 73 dijelaskan tentang bolehnya merevisi UU yang sudah disepakati dalam rapat DPR.
Baca juga: DPR Sahkan Revisi UU PPP, Atur Metode Omnibus Law
Bunyi pasal yang dimaksud yakni, "Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden sebagaimana dimaksud dalam pasal 72 masih ditemukan kesalahan teknis penulisan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara bersama dengan kementerian yang membahas rancangan undang-undang tersebut melakukan perbaikan dengan melibatkan pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas rancangan undang-undang tersebut".
Kritik RUU PPP
Diberitakan sebelumnya, Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mendesak pemerintah tak menjadikan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undagan (RUU PPP) sebagai alat untuk melegitimasi UU Cipta Kerja.
Pasalnya, kata Fajri, revisi UU PPP sebagai preseden buruk praktik legislasi di masa pandemi lantaran gagal menyasar perbaikan tata kelola regulasi.
"Secara substansi, revisi UU PPP kontraproduktif dengan upaya menyelesaikan permasalahan tata kelola perundang-undangan di Indonesia," ujar Fajri Nursyamsi dalam keterangan tertulisnya, 15 Mei lalu.
Baca juga: Kekhawatiran di Balik Revisi UU PPP yang Cantumkan Aturan Metode Omnibus
Ia mengungkapkan, pemerintah dan DPR hanya berfokus pada persoalan hiper-regulasi yang terdapat dalam tata kelola regulasi di Indonesia yang dinilai bisa diselesaikan dengan metode omnibus.
Padahal, ia menilai penggunaan metode omnibus tak menyelesaikan masalah hiper-regulasi tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.