Bersuamikan seorang hamba hukum, pernah menjadi pengacara selama 11 tahun, dan duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selama dua periode serta memimpin partainya di level kabupaten dan provinsi, menjadikan Ade Yasin kenyang dengan jam terbang politiknya.
Sang adik seperti mengulang kejayaan politik sang kakak yang sama-sama menjadi politisi handal dari partai berlambang Kabah tersebut.
Belum lagi modal sosialnya sebagai aktivis Muslimat di Nadhatul Ulama, pembina organisasi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) serta penasihat Majelis Ulama Indonesia, menjadikan profiling Ade Yasin sangat paripurna (Idntimes, 14 September 2021).
Belum lagi gebrakannya di birokrasi cukup mengundang simpati. Program kerjanya yang diberi tajuk Panca Karsa bertujuan memajukan Bogor begitu cukup menjanjikan.
Bogor Membangun, Bogor Maju, Bogor Cerdas, dan Bogor Keberadaban juga lumayan narasinya.
Bogor Membangun dimaksudkan agar desa-desa di Kawasan Kabupaten Bogor bergerak maju.
Sedangkan Bogor Sehat diarahkan untuk memberikan pelayanan kesehatan sebagai kebutuhan yang paling dasar untuk masyarakat. Pelayanan tersebut juga dibarengi dengan infrastruktur kesehatan yang akan dioptimalkan.
Sementara Program Bogor Cerdas direalisasikan dengan dibagikannya Kartu Bodas (Bogor Cerdas) untuk meningkatkan angka prestasi siswa sekolah di Kabupaten Bogor yang cenderung rendah.
Tidak hanya di sekolah negeri, Ade Yasin juga membuat Program Bedah Pesantren dengan memberikan insentif dan sertifikat yang bertujuan meningkatkan indeks pendidikan.
Sekali lagi, Ade Yasin tidak belajar dan mengambil hikmah dari kasus yang menimpa kakak kandungnya.
Keduanya terpelanting dari kekuasaan akibat gurih dan nikmatnya kelindan peluang kekuasaan yang memberikan akses kapital tanpa batas.
KPK harus mengungkap kasus tangkap tangan Ade Yasin dengan terang benderang. Apakah menjadi korban pemerasan dari BPK karena kasus-kasusnya yang begitu besar ketidakberesannya ataukah tangkap tangan tersebut karena adanya transaksi temuan pelanggaran di Kabupaten Bogor yang “dinominalkan” oleh BPK.
KPK juga harus mempertanggungjawabkan apakah operasi tangkap tangan Ade Yasin ini nantinya tidak menjadi antiklimaks.
Publik menjadi jengah jika ending kasus ini hanya “merugikan” ratusan juta rupiah keuangan negara, sementara proses penyadapan hingga penangkapan KPK memakan biaya operasi yang jauh lebih besar. Lebih besar pasak “operasi” daripada tiang “gratifikasi” jadinya.
Publik sudah kadung percaya, tindak penyelewengan kepala daerah yang bernominal puluhan hingga ratusan juta rupiah sudah biasa terjadi dan aman-aman saja.
Justru yang tidak biasa, kasus merugikan triliunan rupiah yang jarang terjamah KPK. Walau bagaimanapun, setiap penyalahgunaan kekuangan negara walau sepeser rupiah adalah tetap korupsi. Sekali korupsi tetap korupsi.
Alih-alih menindak komisionernya yang terbukti melanggar etika dengan menonton balapan motor GP Mandalika dan menginap di cottages mewah atau berhubungan langsung dengan pihak yang berpekara, gebrakan KPK di saat musim mudik Lebaran ini layak mendapat apresiasi setelah sekian lama “absen” dengan OTT.
Di saat warga tengah “OTT” atau Orang Tunggu THR (Tunjangan Hari Raya), eeh KPK malah tetap OTT atau Operasi Tangkap Tangan kepala daerah culas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.