Peneliti Universitas Papua, Ngurah Suryawan menyoroti minimnya kajian mendalam serta tidak dilibatkannya rakyat Papua dalam keputusan ini.
“Desain pemekaran dalam konteks di Papua itu seharusnya harus matang persiapannya, tidak bisa secepat yang ada sekarang, perlu kajian mendalam,” kata Ngurah kepada Kompas.com, Jumat (8/4/2022).
Kajian mendalam tersebut mutlak diperlukan karena mengembangkan daerah otonomi baru (DOB) di Papua, apalagi setingkat provinsi, tidak sesederhana di wilayah lain.
Papua memiliki kompleksitas masalah tersendiri, mulai dari sejarah kekerasan, keberagaman suku yang begitu kaya, hingga isu-isu kesejahteraan.
Selama ini, pemekaran wilayah di Papua dianggap dapat menjadi jawaban atas masalah-masalah tersebut.
Mitos itu berawal dari asumsi bahwa pemekaran wilayah akan memperpendek rentang kendali pemerintahan dan DOB bisa memiliki anggaran sendiri.
Baca juga: Pemekaran Wilayah Papua Dinilai Tak Jamin Kesejahteraan Rakyat
“Saya tidak melihat sampai sekarang, apakah misalnya daerah-daerah pemekaran di Papua Barat seperti Maybrat, Pegunungan Arfak, Sorong Selatan, itu kesejahteraan dan pelayanan publiknya meningkat. Itu seharusnya dievaluasi dulu sebelum mendesain ulang pemekaran baru,” jelas Ngurah.
Di sisi lain, tahun lalu DPR juga telah merevisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus), menambah aturan bahwa pembentukan 3 provinsi baru ini boleh tanpa melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Padahal, dalam UU Otsus sebelum revisi, pemekaran wilayah di Papua hanya dapat dilakukan dengan melibatkan dua lembaga tersebut.
Ngurah yang telah meneliti isu sejarah, politik, budaya, kekerasan, dan terbentuknya elite lokal di Papua sejak 2009 ini berpendapat, pelibatan rakyat Papua bersifat kunci.
Namun, menurutnya, tendensi pemerintah untuk tidak melibatkan rakyat Papua dalam melakukan pemekaran sudah terlihat sejak lama.
Di era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, misalnya, terbit Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 yang mengamanatkan pemekaran wilayah di Papua secara satu arah.
Jakarta ditengarai punya kepentingan karena pemekaran wilayah ini, misalnya, dapat menjadi alat untuk meredam aspirasi kemerdekaan yang berkembang di Papua.
Baca juga: Pakar Kritik Pembentukan 3 Provinsi Baru: Tanpa Kajian Mendalam dan Tak Libatkan Rakyat Papua
Dengan pemekaran wilayah, maka diperlukan perluasan satuan keamanan, baik tentara maupun polisi, di wilayah-wilayah baru.
Terlebih, 2 provinsi baru, Papua Tengah dan Pegunungan Tengah, selama ini jadi wilayah yang kerap diwarnai kontak senjata antara TNI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB).