Pertama, membangun legitimasi emosi. Dalam proses ini, politisi membuat semacam review emosional tentang wacana politik yang berkembang. Semacam test the water. Juga untuk memperjelas siapa “lawan” dan “kawan”.
Dalam kasus Jokowi, dia berkata: “enggak ngurus copras-capres”. Pemilihan kosa katanya yang lugas dan tidak baku jelas menyasar rakyat kebanyakan.
Bersamaan dengan itu, Jokowi menjelaskan dirinya fokus bekerja, mengatasi banjir dan mengurus pedagang kaki lima.
Dengan mengatakan itu, banyak orang yang emosinya tersentuh. Mereka yakin Jokowi adalah figur yang mencintai rakyat.
Kedua, legitimasi melalui pengandaian. Struktur ujaran politik untuk menjalankan strategi ini biasanya memakai rumusan: jika kondisi tertentu dibiarkan, masa depan rakyat akan bahaya.
Strategi tersebut dilakukan Jokowi dengan berkali-kali memberi kesan negatif wacana pencapresannya.
“Copras-capres” dikatakan untuk memberi kesan dirinya terganggu. Kalau terus begitu, ia tidak bisa mengurus rakyat Jakarta.
Tetapi, justru ini membuat banyak orang semakin penasaran kepadanya. Di tengah kecenderungan manusia yang haus kuasa, pribadi Jokowi yang lebih memilih bekerja untuk rakyat merupakan hal langka.
Ketiga, membangun legitimasi berdasarkan rasionalitas. Ketika wacana pencapresannya menguat dan keputusan PDI-P mengusung Jokowi semakin jelas, seorang wartawan Amerika bertanya kepada Jokowi tentang siapa yang akan mengumumkan pencapresan dirinya.
Jokowi menjawab: "You can ask that to Ibu Mega. I concentrate to my job as Governoor of Jakarta." (Kompas, 2 Juli 2014).
Ujaran ini adalah strategi Jokowi membangun legitimasi yang rasional. Melaluinya, Jokowi hendak mengatakan, keputusan pencapresannya sudah melalui proses panjang di partai politik, lembaga yang tepat dan paling tahu soal politik.
Keempat, membangun legitimasi dengan meminjam suara para ahli, termasuk di dalamnya sistem dan nilai yang ada di masyarakat.
Ketika keputusan politik sudah diambil PDI-P, pro kontra sudah semakin jelas terlihat, keputusan politik Jokowi yang bersedia menjadi capres PDI-P mendapat dukungan para ahli dan pengamat.
Kesediaannya dicalonkan tidak bertentangan dengan nilai demokrasi. Ia bersedia, karena legitimasi rakyat, mandat partai politik dan dukungan para ahli.
Terakhir legitimasi melalui altruisme. Setelah keputusan politik diambil, politisi akan menunjukkan kalau keputusan tersebut adalah untuk kepentingan negara. Bukan untuk kepentingan pribadi.