Sementara, menurut Agus, persoalan terkait dengan buruh/pekerja, begitupun yang termaktub dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022, selalu jadi pembahasan yang sensitif.
"Saya nggak tahu apakah ini (substansi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022) tadinya dinilai masuk ke ranah yang tidak sensitif sehingga tidak dicek oleh Seskab, saya tidak tahu," kata Agus kepada Kompas.com, Selasa (22/2/2022).
Agus mengatakan, penyusunan peraturan menteri memang mestinya merujuk pada Perpres Nomor 68 Tahun 2021.
Jika di kemudian hari terjadi gelombang kritik terhadap aturan yang diterbitkan pemerintah seperti halnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022, dampaknya presiden menjadi seolah "kehilangan muka".
"Secara politis pasti akan mengganggu presiden, gunanya Perpres Nomor 68 kan supaya presiden tidak terganggu dan tidak kehilangan muka," kata Agus.
Di sisi lain, Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Indonesia (UI) Aloysius Uwiyono mengatakan, terjadi ketidaksinkronan antara Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 dengan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
Baca juga: Serikat Pekerja Nilai Komunikasi di Istana Bermasalah terkait Permenaker 2/2022
Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 mengatur bahwa pencairan JHT baru bisa dilakukan setelah pekerja berusia 56 tahun.
Padahal, Pasal 37 Ayat (3) UU SJSN mengatakan, pengambilan JHT dapat dilakukan setelah dana JHT mengendap di BPJS setidaknya selama 10 tahun.
Oleh karenanya, ke depan, alih-alih merevisi, Aloysius mendorong supaya proses penyusunan aturan dapat disinkronisasi oleh presiden, para menteri, dan pemangku kepentingan lainnya, sebelum akhirnya diterbitkan.
"Harus dicek lebih dahulu, kalau perlu 3 lapis sebelum disetujui presiden," katanya kepada Kompas.com, Selasa (22/2/2022).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.