Remdesivir merupakan obat pertama yang disetujui untuk mengobati penyakit Covid-19. Hal itu berdasarkan otorisasi penggunaan darurat yang diberikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (Food and Drug Administration/FDA) pada 1 Mei 2020 lalu.
Dengan izin itu, rumah sakit di AS dapat memberikan remdesivir secara intravena kepada pasien yang menggunakan ventilator atau membutuhkan bantuan oksigen tambahan.
Obat produksi Gilead Sciences tersebut diklaim dapat mempercepat waktu pemulihan pasien yang terinfeksi virus corona. Selain itu, obat remdesivir mampu mempersingkat waktu pemulihan pada 1.063 pasien dengan rata-rata sekitar empat hari dirawat di rumah sakit.
Baca juga: Jokowi Teken Perpres, Atur Paten Obat Covid-19 Remdesivir
Obat ini awalnya diuji sebagai antivirus melawan ebola dan hepatitis C.
Redemsivir menjadi salah satu obat yang masuk dalam standart of care Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Obat ini tidak boleh sembarangan diberikan kepada semua pasien Covid-19. Redemsivir hanya ditujukan bagi pasien Covid-19 yang telah terkonfirmasi laboratorium, terutama untuk orang dewasa atau remaja berusia 12 tahun ke atas dengan berat badan minimal 40 kilogram.
Baca juga: Indonesia Terima Hibah 20.102 Remdesivir dari Belanda
Obat ini akan menganggu replikasi virus baru dengan memasukkannya ke dalam gen virus baru. Redemsivir disebutkan mampu menghambat replikasi virus sehingga tak terjadi keparahan lebih lanjut dan sistem imun pasien dapat mengendalikan virus.
Meski diklaim mampu menghambat replikasi virus dan mempersingkat waktu pemulihan pasien Covid-19, penggunaan remdesivir memunculkan efek samping. Efek samping dari pemakaian obat ini diduga akan mempengaruhi hati, liver, bahkan ginjal.