Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

5 Obat Covid-19 yang Tak Lagi Digunakan dan Penggantinya

Kompas.com - 07/02/2022, 14:56 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah menyatakan saat ini ada lima jenis obat tidak lagi masuk dalam daftar obat-obatan untuk terapi pasien Covid-19. Kelima obat itu yakni Ivermectin, Klorokuin, Oseltamivir, plasma konvalesen dan Azithromycin.

Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P) Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, saat ini ada tiga obat pengganti yang dapat diberikan untuk terapi pasien yang terpapar virus Corona. Ketiganya yakni Fapivirafir, Remdesivir dan Tocilizumab.

"Iya (tidak masuk) karena tidak direkomendasikam oleh lima organissi profesi lagi dalam buku tatalaksana yang baru," ujar Nadia saat dikonfirmasi Kompas.com, Senin (7/2/2022). "Kelima obat ini sudah tidak masuk lagi dalam daftar obat Covid-19," katanya.

Baca juga: 5 Obat Covid-19 yang Terbukti Tidak Bermanfaat Menurut IDI

Nadia mengatakan, keputusan itu diambil menyusul rekomendasi dari lima organisasi profesi yang menyatakan kelima obat-obatan itu tidak lagi bermanfaat untuk menangani pasien Covid-19.

Dalam Revisi Protokol Tata Laksana Covid-19, lima organisasi profesi kedokteran tak lagi memasukkan lima obat itu dalam standar perawatan pasien Covid-19. Kelima lembaga itu terdiri dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

Baca juga: Jangan Gunakan Obat Covid-19 Ini Karena Tak Bermanfaat Menurut IDI

 

Ilustrasi obat antivirus untuk Covid-19. Oseltamivir dan Azithromycin sebagai obat perawatan pasien Covid-19.Shutterstock Ilustrasi obat antivirus untuk Covid-19. Oseltamivir dan Azithromycin sebagai obat perawatan pasien Covid-19.

Tiga obat yang kini diizinkan digunakan oleh pemerintah buat terapi pasien Covid-19 mempunyai cara kerja yang berbeda. Namun, ketiganya diyakini efektif mengobati gejala Covid-19.

Favipiravir

Obat ini pertama kali dikembangkan oleh Toyama Chemicals Jepang. Obat ini digunakan sebagai terapi influenza dan terbukti mampu melawan infeksi virus Ebola.

Obat ini bekerja dengan mekanisme menghambat RNA-dependent RNA polymerase pada sel virus sehingga replikasi virus terganggu. Mekanisme ini membuat favipiravir menjadi obat antivirus dengan spektrum luas.

Baca juga: Avigan Favipiravir, Obat Flu Jepang yang Disebut Efektif Hadapi Corona

Dilansir dari Pedoman Tatalaksana Covid-19 oleh beberapa perhimpunan dokter Indonesia, favipiravir bisa digunakan pada pasien dengan gejala ringan hingga berat. Namun, penggunaannya masih sangat terbatas sehingga tidak boleh diberikan untuk ibu hamil atau perempuan yang merencanakan kehamilan.

Pasien Covid-19 tidak diperbolehkan untuk mengonsumsi obat ini secara sembarangan tanpa resep dan pengawasan dari dokter. Umumnya obat Oseltamivir tablet 75 mg, atau Favipiravir juga diberikan kepada pasien Covid-19 sebagai terapi pendukung, sesuai dengan indikasi gejala yang dialami oleh pasien dan harus dengan resep dokter.

Baca juga: Apa itu Oseltamivir, Favipiravir, dan Azithromycin? Obat yang Ditanya Jokowi ke Menkes Budi

 

 

Ilustrasi obat Covid-19 rekomendasi Kemenkes freepik Ilustrasi obat Covid-19 rekomendasi Kemenkes

Remdesivir

Remdesivir merupakan obat pertama yang disetujui untuk mengobati penyakit Covid-19. Hal itu berdasarkan otorisasi penggunaan darurat yang diberikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (Food and Drug Administration/FDA) pada 1 Mei 2020 lalu.

Dengan izin itu, rumah sakit di AS dapat memberikan remdesivir secara intravena kepada pasien yang menggunakan ventilator atau membutuhkan bantuan oksigen tambahan.

Obat produksi Gilead Sciences tersebut diklaim dapat mempercepat waktu pemulihan pasien yang terinfeksi virus corona. Selain itu, obat remdesivir mampu mempersingkat waktu pemulihan pada 1.063 pasien dengan rata-rata sekitar empat hari dirawat di rumah sakit.

Baca juga: Jokowi Teken Perpres, Atur Paten Obat Covid-19 Remdesivir

Obat ini awalnya diuji sebagai antivirus melawan ebola dan hepatitis C.

Redemsivir menjadi salah satu obat yang masuk dalam standart of care Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Obat ini tidak boleh sembarangan diberikan kepada semua pasien Covid-19. Redemsivir hanya ditujukan bagi pasien Covid-19 yang telah terkonfirmasi laboratorium, terutama untuk orang dewasa atau remaja berusia 12 tahun ke atas dengan berat badan minimal 40 kilogram.

Baca juga: Indonesia Terima Hibah 20.102 Remdesivir dari Belanda

Obat ini akan menganggu replikasi virus baru dengan memasukkannya ke dalam gen virus baru. Redemsivir disebutkan mampu menghambat replikasi virus sehingga tak terjadi keparahan lebih lanjut dan sistem imun pasien dapat mengendalikan virus.

Meski diklaim mampu menghambat replikasi virus dan mempersingkat waktu pemulihan pasien Covid-19, penggunaan remdesivir memunculkan efek samping. Efek samping dari pemakaian obat ini diduga akan mempengaruhi hati, liver, bahkan ginjal.

 

Ilustrasi obat Covid-19. Inggris setujui obat Sotrovimab yang dikembangkan oleh perusahaan GlaxoSmithKline (GSK) dan Vir Biotechnology untuk pengobatan Covid-19. Selain mampu mengurangi risiko gejala ringan berkembang menjadi gejala berat, mengurangi risiko rawat inap dan kematian, obat ini juga tampaknya mampu melawan varian baru Omicron.SHUTTERSTOCK/Peter Kniez Ilustrasi obat Covid-19. Inggris setujui obat Sotrovimab yang dikembangkan oleh perusahaan GlaxoSmithKline (GSK) dan Vir Biotechnology untuk pengobatan Covid-19. Selain mampu mengurangi risiko gejala ringan berkembang menjadi gejala berat, mengurangi risiko rawat inap dan kematian, obat ini juga tampaknya mampu melawan varian baru Omicron.

Tocilizumab

Tocilizumab adalah obat antibodi monoklonal dan merupakan anti interleukin 6. Menurut Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, interleukin 6 merupakan sitokin protein yang menjadi mediator utama inflamasi dan respons imun berlebih yang menyebabkan peradangan hebat dalam tubuh yang biasa dikenal sebagai badai sitokin.

"Terutama pada pasien Covid-19 yang berat, biasanya terjadi badai sitokin, dan sitokin itu ada berbagai macam, salah satunya yang sering muncul adalah interleukin 6," kata Prof Zullies saat dihubungi Kompas.com, Jumat (2/7/2021).

Sebelum menjadi salah satu obat Covid-19, Prof Zullies mengungkapkan sebenarnya Tocilizumab biasanya digunakan pada orang dengan penyakit rheumatoid arthritis, yakni penyakit autoimun yang menyerang persendian. Pada penyakit ini, jumlah atau ekspresi interleukin 6 cukup besar, sehingga harus ditekan dengan obat tersebut.

Baca juga: Dijual Jutaan Rupiah, Ini Fakta Obat Tocilizumab untuk Lawan Covid-19

Sedangkan pada pasien Covid-19, terutama dengan sakit parah, biasanya akan mengalami badai sitokin yang disebabkan oleh peningkatan interleukin 6.

Harga obat Tocilizumab untuk mengobati pasien Covid-19 cukup mahal hingga jutaan rupiah. Menurut Prof Zullies, dikarenakan teknologi yang digunakan dalam pengembangan obat tersebut tidak seperti produksi obat pada umumnya.

Baca juga: Harga Obat Tocilizumab Mahal, Apakah Efektif untuk Covid-19 Parah?

Pembuatan obat antibodi monoklonal tersebut sangat sulit, sehingga tak heran jika sebagian besar obat yang termasuk jenis agen biologi ini masih impor dari negara lain. Obat tocilizumab adalah sejenis protein, yang selain mahal juga tidak tersedia di apotek atau toko obat biasa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menhan AS Telepon Prabowo Usai Penetapan KPU, Sampaikan Pesan Biden dan Apresiasi Bantuan Udara di Gaza

Menhan AS Telepon Prabowo Usai Penetapan KPU, Sampaikan Pesan Biden dan Apresiasi Bantuan Udara di Gaza

Nasional
Terima Nasdem, Prabowo: Surya Paloh Termasuk yang Paling Pertama Beri Selamat

Terima Nasdem, Prabowo: Surya Paloh Termasuk yang Paling Pertama Beri Selamat

Nasional
Partai Pendukung Prabowo-Gibran Syukuran Mei 2024, Nasdem dan PKB Diundang

Partai Pendukung Prabowo-Gibran Syukuran Mei 2024, Nasdem dan PKB Diundang

Nasional
MKMK: Hakim MK Guntur Hamzah Tak Terbukti Langgar Etik

MKMK: Hakim MK Guntur Hamzah Tak Terbukti Langgar Etik

Nasional
Ratusan Bidan Pendidik Tuntut Kejelasan, Lulus Tes PPPK tapi Dibatalkan

Ratusan Bidan Pendidik Tuntut Kejelasan, Lulus Tes PPPK tapi Dibatalkan

Nasional
Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Nasional
Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau 'Ge-er'

Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau "Ge-er"

Nasional
Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Nasional
Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Nasional
JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com