Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Ibu Kota Baru dengan Arsitektur Ekonomi Politik yang Sumir

Kompas.com - 06/02/2022, 09:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Baru-baru ini, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal Polisi (Purn) Budi Gunawan dengan yakin menyampaikan bahwa pemindahan ibu kota baru negara adalah bagian dari kerangka besar kebijakan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial nasional.

Dengan memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, pembangunan yang selama ini terkesan Jawa Sentris bisa dihapus. Disparitas Jawa dan Luar Jawa bisa dieliminasi.

Demikian kira-kira inti justifikasi beliau atas pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan.

Saya tentu sangat mengapresiasi substansi pesan di balik pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan.

Saat ini sudah jarang penguasa berbicara tentang pemerataan ekonomi dan keadilan sosial.

Sudah lama saya sebagai rakyat atau mungkin rakyat kebanyakan tak mendengar kata-kata tersebut didengungkan oleh pejabat-pejabat negara di ruang publik.

Tapi persoalannya, apakah tujuan tersebut simetris dengan kebijakan pemindahan ibu kota ke Kalimantan?

Persis pada pertanyaan ini saya tidak sependapat dengan kepala BIN atau siapapun pejabat negara yang mengatasnamakan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial sebagai justifikasi strategis pemindahan ibu kota negara.

Bagaimana menjembatani logika antara dua hal tersebut?

Menjauh dari posisi geografis yang berpenduduk paling padat ke titik geografis yang tidak padat penduduknya untuk sebuah ibu kota negara baru bukanlah representasi dari pemerataan ekonomi dan keadilan sosial.

Namun justru meninggalkan tanggung jawab demokratis untuk berada di tengah-tengah kepentingan mayoritas penduduk.

Kesannya, pemindahan ibu kota ke Kalimantan seperti memilih mengabdi kepada hanya beberapa gelintir pihak dan meninggalkan pihak mayoritas.

Dalam bahasa yang agak tendensius, justru kebijakan tersebut seperti memilih oligarki ketimbang demokrasi. Sangat sulit diterima logika.

Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah benar kebijakan memindahkan ibu kota ke Kalimantan adalah strategi besar pemerintah untuk mendorong pemerataan ekonomi dan keadilan sosial?

Apakah membangun besar-besaran secara fisik di satu lokasi akan berimbas pada pemerataan ke seluruh lokasi?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com