Dalam kondisi ekonomi kini yang cenderung stagnan, ditambah dengan ancaman resesi akibat pandemik, intervensi fiskal secara besar-besar memang sangat diperlukan.
Salah satunya melalui proyek-proyek infrastruktur, termasuk membangun ibu kota baru.
Tapi jika memakai alasan transformasi struktural, pemerataan ekonomi, atau keadilan sosial, dan alasan ini itu, saya kira terlalu berlebihan dan narasinya cenderung mengada-ada.
Bahkan Saya melihat alasan Presiden Joko Widodo mirip dengan alasan Kazakhstan yang juga sedang menyelesaikan ibu kota barunya, yakni Ibu Kota baru Astana yang kini berubah lagi menjadi Nur-Sultan, yang secara sepintas memang luar biasa itu.
Pemindahan ibu kota dari Almaty seperti 'anak' dari suksesnya kepemimpinan Presiden Kazakhstan, Nursultan Nazarbayev sehingga untuk menghormati beliau, Kazakhstan mengganti nama Astana menjadi Nur-Sultan.
Kota Nur-Sultan (Astana) yang menggantikan ibu kota lama Almaty; salah satu kota metropolis di Kazakhstan, selain kabarnya diniatkan agar menjauhkannya dari wilayah Cina juga akan menjadi pelopor energi terbarukan yang sudah digaungkan sejak beberapa tahun lalu di Eropa.
Menjadi luar biasa karena Kazakhstan adalah produsen minyak dan gas alam yang berlimpah, yang secara kategorial justru tidak sekepentingan dengan green ideologi yang diemban kota Nur-Sultan (Astana).
Tapi sejak awal Kota Nur-Sultan (Astana) dibangun hingga hari ini, tidak ada perubahan struktural, perbaikan pemerataan ekonomi, atau perubahan kondisi keadilan sosial secara signifikan di Kazakhstan.
Negara ini tetap menjadi negara otoriter dengan struktur ekonomi yang sangat bergantung pada komoditas minyak, gas, dan pariwisata, yang dikuasai oleh segelintir elite kekuasaan.
Tak ada perubahan struktural yang berarti dan nampaknya memang tidak diniatkan untuk itu.
Bahkan nampaknya diniatkan secara terselubung untuk mempertahankan status quo politik di Kazakhstan.
Nur-Sultan (Astana) hanya seperti proyek gagah-gagahan penguasa Kazakhstan untuk mengalihkan perhatian masyarakatnya dari buruknya sistem politik otoritarian yang dianut Kazakhstan sejak bubarnya Uni Soviet.
Entah kebetulan atau tidak, Jokowi pun menunjuk mantan Jubirnya, Fazroel Rachman, menjadi duta besar Indonesia di Kazakhstan merangkap Republik Tajikistan berkedudukan di Nur-Sultan baru-baru ini.
Apakah diniatkan untuk mempelajari bagaimana Kazakhstan membangun Kota Nur-Sultan (Astana) atau tidak, tidak ada yang mengetahui secara pasti.
Jika jawabannya memang demikian, justru tidak simetris dengan tujuan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala BIN di atas.
Karena Nur-Sultan (Astana) adalah proyek megalomaniak dari pemerintahan otoritarian Kazakhstan.
Semoga Kota Nusantara, di Provinsi Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru Republik Indonesia yang kita cintai ini tidak diniatkan demikian. Semoga!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.