PADA perayaan hari lahir Himpunan Mahasiswa Islam, 5 Februari, mari mengingat kembali pemikiran tokoh terbesar yang pernah dimiliki HMI, Nurcholish Madjid.
Nurcholish Madjid adalah ketua umum HMI dua periode 1966 – 1969 dan 1969 – 1971.
Fondasi pemikiran Nurcholish Madjid bisa dilacak dalam dua artikel yang ditulis pada akhir tahun 1968 dan 1970.
Kedua artikel ini ketika Nurcholish memimpin HMI, organisasi mahasiswa terbesar Indonesia.
Artikel pertama yang penting adalah sebuah makalah panjang yang ditulis tahun 1968 yang berjudul “Modernisasi Ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”. Tulisan itu dimuat di Mimbar Demokrasi, Bandung.
Artikel kedua muncul pada 3 Januari 1970 dalam bentuk naskah pidato.
Pada acara silaturahmi empat organisasi, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Pemuda Islam (GPI), Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami) di Gedung Pertemuan Islamic Research Centre, Jakarta, Nurcholish Madjid menyampaikan pidato berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.”
Nurcholish Madjid saat itu sebenarnya adalah penyampai pidato pengganti Dr. Alfian yang berhalangan hadir.
M. Dawam Rahardjo menyebut tulisan Nurcholish tahun 1968 itu mewakili pandangan pikiran Nurcholish pra-pembaruan Islam.
Tulisan ini kemudian disempurnakan oleh Endang Saifuddin Anshari dan Sakib Machmud untuk dijadikan “Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP)” yang menjadi bahan utama dalam pengkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Nurcholish sebagai aktivis kelompok Islam modernis, yakni Himpunan Mahasiswa Islam, adalah fase di mana dia sering disebut sebagai pewaris dan penerus jalur politik dan pemikiran Islam Muhammad Natsir.
Secara positif dia bahkan disebut sebagai Natsir Muda. Panggilan Natsir muda untuk Nurcholish beredar sekitar tahun 1966-1970-an.
Tulisan tersebut lebih banyak ditujukan pada mereka yang berada di luar kelompok Islam, semacam pembelaan pada Islam dari serangan dari luar.
Pada pembukaan tulisan, Nurcholish menjelaskan kepada siapa tulisan itu dibuat. Dia hendak membantah tuduhan bahwa sebagian kelompok Islam, terutama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berada pada barisan anti-modernisasi.
Dia mengatakan dengan tegas bahwa mahasiswa, termasuk mahasiswa Islam, adalah pelopor dan penggerak modernisasi atau “modernizing agent.”
Artikel ini mengupas dengan cukup detail tentang pengertian modernisasi dan hubungannya dengan Islam.
Nurcholish menyatakan bahwa modernisasi hampir identik dengan pengertian rasionalisasi.
Rasionalisasi di sini dimaknai sebagai suatu proses perombakan pola pikir dari yang tidak akliah (rasional atau masuk akal) menjadi tata atau pola pikir baru yang akliah.
Dalam praktiknya, yang akliah merujuk pada penemuan ilmu pengetahuan yang bersumber dari pemahaman mengenai hukum-hukum objektif yang ada dalam alam yang menjadi penyebab alam berjalan dengan kepastian tertentu dan harmonis.
Dengan demikian, sesuatu disebut modern, kata Nurcholish, jika ia rasional, ilmiah, dan sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku di alam.
Dengan mengutip sejumlah doktrin dalam Quran, Nurcholish kemudian sampai pada kesimpulan bahwa modernisasi yang berarti rasionalisasi itu memiliki fondasi yang kuat dalam Islam.
Nurcholish menyatakan: “…modernisasi, yang berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal, guna kebahagiaan umat manusia, adalah perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar. Modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah dan sunnatullah (hukum Ilahi) yang haq (sebab alam adalah haq).”
Sunnatullah, menurut Nurcholish sudah mewujudkan dirinya dalam bentuk hukum alam.