Pengadaan itu antara lain Total Care Program mesin (RR) Trent 700, pengadaan pesawat Air Bus A330-300/200.
Lalu pengadaan pesawat Airbus A320 untuk PT Citilink Indonesia, pesawat Bombardier CRJ1000 dan pesawat ATR 72-600.
Diungkapkan oleh mantan Direktur Strategi Pengembangan Bisnis dan Manajemen Risiko PT Garuda Indonesia, Achirina bahwa Emirsyah merasa penerimaan gratifikasi itu biasa.
Achirina adalah saksi salam persidangan untuk Emirsyah pada tahun 2020 lalu.
Baca juga: Kejagung Sebut Dugaan Korupsi Pengadaan Pesawat Garuda di Bawah Kepemimpinan Emirsyah Satar
Mulanya Achirina ingin menerapkan sistem whistleblower atau pelaporan pelanggaran jika ada pihak di dalam PT Garuda Indonesia yang menerima gratifikasi saat melakukan pengadaan barang.
Namun penerapan aturan baru itu perlu persetujuan semua direksi. Kala itu yang menentang adanya peraturan baru justru Emirsyah.
“Ada yang mengatakan bahwa whistleblower jadi bumerang, karena memang common best practices dalam proses bisnis, karena bisnis maka dianggap common (wajar),” sebut Achirina.
Emirsyah pernah takut ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu diungkap oleh saksi bernama Puji Nur Handayani.
Puji merupakan mantan Direktur Produksi PT Garuda Indonesia.
Ketakutan Emirsyah kala itu diungkapkan ketika rapat direksi penentuan pembelian pesawat antara Embraer tipe E-190 atau Bombardier tipe CRJ1000.
Baca juga: Saksi Ungkap Emirsyah Satar Pernah Bilang Gratifikasi Hal Wajar
Mayoritas direksi menyarankan untuk membeli Embraer karena dinilai lebih memenuhi kriteria seperti economic, financing, performances, passenger appeal dan market and infrastructure.
Namun Emirsyah justru memilih Bombardier karena dinilai lebih murah.
“Kok kalian memberikan usulan pesawat yang lebih mahal pada direksi, bisa diperkarakan ini, saya bisa paling pertama yang dipanggil KPK,” ucap Emirsyah.