Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kilas Balik Kasus Emirsyah Satar di Garuda: Sebut Gratifikasi Wajar hingga Beli Apartemen di Australia

Kompas.com - 14/01/2022, 08:25 WIB
Tatang Guritno,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Emirsyah Satar kembali disebut dalam dugaan korupsi di PT Garuda Indonesia. Emirsyah merupakan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia.

Dugaan itu muncul setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUM) Erick Thohir menyerahkan bukti dugaan tindak pidana korupsi penyewaan pesawat ATR 72 seri 600.

Kejaksaan Agung mengatakan dugaan korupsi itu terjadi di masa kepemimpinan Emirsyah.

Kuasa hukum Emirsyah mengatakan bahwa laporan Erick Thohir dan pengusutan Kejagung bukanlah hal baru karena sudah pernah diungkap oleh KPK dalam perkara pertama kliennya.

Baca juga: Emirsyah Satar Kembali Terseret Dugaan Korupsi, Pengacara: Pengadaan ATR 72-600 Sudah dalam Dakwaan KPK

Menilik kasus yang dimaksud kuasa hukum Emirsyah Satar itu, memang soal pembelian dan penyewaan ATR 72-600 dan CRJ1000 sudah pernah diungkit jaksa dalam berbagai persidangan Emir.

Berikut Kompas.com hadirkan kembali sejumlah fakta-fakta persidangan yang membelit Emirsyah ketika itu:

Sedang jalani hukuman

Saat ini Emirsyah mendekam di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

Pada medio 2020, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis 8 tahun dan denda Rp 1 miliar padanya.

Emirsyah dinyatakan bersalah menerima suap terkait pengadaan mesin dan pesawat PT Garuda Indonesia.

Majelis hakim juga menyatakan dirinya terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Baca juga: Duduk Perkara Korupsi di Garuda Indonesia, Eks Dirut Emirsyah Satar Terseret?

Nilai suap fantastis

Emirsyah dinilai menerima sejumlah uang baik dalam bentuk Rupiah, dollar Singapura, Euro hingga dollar Amerika.

Suap itu diberikan oleh pendiri PT Mugi Rekso Abadi yang juga beneficial owner Connaught International Pte Ltd bernama Soetikno Sudarjo.

Uang tersebut berjumlah Rp 5,859 miliar, 884.000 dollar Amerika, 1,02 juta Euro dan 1,1 juta dollar Singapura.

Baca juga: Kasus-kasus Korupsi yang Membelenggu Garuda hingga Nyaris Bangkrut...

Uang itu diberikan Soetikno agar Emirsyah memuluskan sejumlah pengadaan yang sedang dikerjakan PT Garuda Indonesia.

Ilustrasi pesawat Garuda Indonesia.
SHUTTERSTOCK/CESC_ASSAWIN Ilustrasi pesawat Garuda Indonesia.

Pengadaan itu antara lain Total Care Program mesin (RR) Trent 700, pengadaan pesawat Air Bus A330-300/200.

Lalu pengadaan pesawat Airbus A320 untuk PT Citilink Indonesia, pesawat Bombardier CRJ1000 dan pesawat ATR 72-600.

Sebut gratifikasi itu biasa

Diungkapkan oleh mantan Direktur Strategi Pengembangan Bisnis dan Manajemen Risiko PT Garuda Indonesia, Achirina bahwa Emirsyah merasa penerimaan gratifikasi itu biasa.

Achirina adalah saksi salam persidangan untuk Emirsyah pada tahun 2020 lalu.

Baca juga: Kejagung Sebut Dugaan Korupsi Pengadaan Pesawat Garuda di Bawah Kepemimpinan Emirsyah Satar

Mulanya Achirina ingin menerapkan sistem whistleblower atau pelaporan pelanggaran jika ada pihak di dalam PT Garuda Indonesia yang menerima gratifikasi saat melakukan pengadaan barang.

Namun penerapan aturan baru itu perlu persetujuan semua direksi. Kala itu yang menentang adanya peraturan baru justru Emirsyah.

“Ada yang mengatakan bahwa whistleblower jadi bumerang, karena memang common best practices dalam proses bisnis, karena bisnis maka dianggap common (wajar),” sebut Achirina.

Sempat takut ditangkap KPK

Emirsyah pernah takut ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu diungkap oleh saksi bernama Puji Nur Handayani.

Puji merupakan mantan Direktur Produksi PT Garuda Indonesia.

Ketakutan Emirsyah kala itu diungkapkan ketika rapat direksi penentuan pembelian pesawat antara Embraer tipe E-190 atau Bombardier tipe CRJ1000.

Baca juga: Saksi Ungkap Emirsyah Satar Pernah Bilang Gratifikasi Hal Wajar

Mayoritas direksi menyarankan untuk membeli Embraer karena dinilai lebih memenuhi kriteria seperti economic, financing, performances, passenger appeal dan market and infrastructure.

Namun Emirsyah justru memilih Bombardier karena dinilai lebih murah.

“Kok kalian memberikan usulan pesawat yang lebih mahal pada direksi, bisa diperkarakan ini, saya bisa paling pertama yang dipanggil KPK,” ucap Emirsyah.

Pencucian Uang

Majelis hakim juga menyatakan bahwa Emirsyah terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Adapun terdapat 7 cara yang dilakukan Emirsyah untuk melakukan pencucian uang.

Pertama, menstransfer uang menggunakan rekening atas nama Woodlake International Limited. Kedua, membayar hutang kredit UOB Indonesia, lalu membayar biaya renovasi rumah di wilayah Kebayoran Lama.

Baca juga: Sidang Emirsyah Satar, Saksi Sebut Penggunaan Pesawat CRJ1000 Tak Hasilkan Profit

Empat, membayar pembelian apartemen di Melbourne Australia, kemudian menempatkan rumahnya di wilayah Grogol Jakarta Barat untuk mendapat kredit dari UOB Indonesia senilai 840 dollar Amerika.

Enam, menitipkan uang sebesar 1,4 juta dollar Amerika dalam rekening Woodlake International ke rekening Soetikno serta mengalihkan kepemilikan apartemennya di Singapura pada Innospace Investment Holding.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Megawati Serahkan ‘Amicus Curiae’  ke MK, Anies: Menggambarkan Situasi Amat Serius

Megawati Serahkan ‘Amicus Curiae’ ke MK, Anies: Menggambarkan Situasi Amat Serius

Nasional
Megawati Ajukan Amicus Curiae, Airlangga: Kita Tunggu Putusan MK

Megawati Ajukan Amicus Curiae, Airlangga: Kita Tunggu Putusan MK

Nasional
Bupati Sidoarjo Tersangka Dugaan Korupsi, Muhaimin: Kita Bersedih, Jadi Pembelajaran

Bupati Sidoarjo Tersangka Dugaan Korupsi, Muhaimin: Kita Bersedih, Jadi Pembelajaran

Nasional
Airlangga Sebut Koalisi Prabowo Akan Berdiskusi terkait PPP yang Siap Gabung

Airlangga Sebut Koalisi Prabowo Akan Berdiskusi terkait PPP yang Siap Gabung

Nasional
Dikunjungi Cak Imin, Anies Mengaku Bahas Proses di MK

Dikunjungi Cak Imin, Anies Mengaku Bahas Proses di MK

Nasional
AMPI Resmi Deklarasi Dukung Airlangga Hartarto Jadi Ketum Golkar Lagi

AMPI Resmi Deklarasi Dukung Airlangga Hartarto Jadi Ketum Golkar Lagi

Nasional
MK Ungkap Baru Kali Ini Banyak Pihak Ajukan Diri sebagai Amicus Curiae

MK Ungkap Baru Kali Ini Banyak Pihak Ajukan Diri sebagai Amicus Curiae

Nasional
Bappilu PPP Sudah Dibubarkan, Nasib Sandiaga Ditentukan lewat Muktamar

Bappilu PPP Sudah Dibubarkan, Nasib Sandiaga Ditentukan lewat Muktamar

Nasional
Yusril Anggap Barang Bukti Beras Prabowo-Gibran di Sidang MK Tak Buktikan Apa-apa

Yusril Anggap Barang Bukti Beras Prabowo-Gibran di Sidang MK Tak Buktikan Apa-apa

Nasional
Panglima TNI Tegaskan Operasi Teritorial Tetap Dilakukan di Papua

Panglima TNI Tegaskan Operasi Teritorial Tetap Dilakukan di Papua

Nasional
TNI Kembali Pakai Istilah OPM, Pengamat: Cenderung Pakai Pendekatan Operasi Militer dalam Mengatasinya

TNI Kembali Pakai Istilah OPM, Pengamat: Cenderung Pakai Pendekatan Operasi Militer dalam Mengatasinya

Nasional
Tim Hukum Ganjar-Mahfud Tetap Beri Angka Nol untuk Perolehan Suara Prabowo-Gibran

Tim Hukum Ganjar-Mahfud Tetap Beri Angka Nol untuk Perolehan Suara Prabowo-Gibran

Nasional
Soal Bantuan Presiden, Kubu Ganjar-Mahfud: Kalau Itu Transparan, kenapa Tak Diumumkan dari Dulu?

Soal Bantuan Presiden, Kubu Ganjar-Mahfud: Kalau Itu Transparan, kenapa Tak Diumumkan dari Dulu?

Nasional
Minta MK Kabulkan Sengketa Hasil Pilpres, Kubu Anies: Kita Tidak Rela Pemimpin yang Terpilih Curang

Minta MK Kabulkan Sengketa Hasil Pilpres, Kubu Anies: Kita Tidak Rela Pemimpin yang Terpilih Curang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com