MARHABAN, Ahlan wa Sahlan KH Yahya Cholil Staquf di belantara yang sudah sangat Anda kenal.
Anda lahir, tumbuh, dan besar di dalamnya. Meminum airnya, menikmati asupan makanannya, menghirup udaranya.
Menanam di hamparan tanahnya yang membentang dari punggung bumi, menembus langit.
Membentang dari nusantara, melintasi belahan dunia, lewat padang wasathiyah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah an Nahdliyah.
Marhaban, Gus Yahya! Anda datang di tengah kelapangan dada warga Nahdliyin. Dada yang luas, penerimaan yang sempurna, silakan menempati ruang-ruang yang membuat Anda leluasa menghidupkan benih yang ditanam para pendahulu.
Marhaban bermakna menyambut tanpa pretensi apapun. Ahlan Wa Sahlan; Anda bukan hanya diaku keluarga, tapi sudah menjadi kepala keluarga. Oleh sebab itu, Anda akan dimudahkan!
Andalah yang terang-terangan mengusung semangat Gus Dur ke dalam muktamar.
Andalah yang mengkonsolidir ratusan pendukung dengan latar raksasa "Menghidupkan Gus Dur".
Lewat buku babon "Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)", Anda buat jalan setapak masa depan NU untuk Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan visi tatanan dunia baru, Anda terjemahkan nilai-nilai Pembukaan UUD 1945 untuk dunia yang lebih damai dan sederajat.
Jika ada sementara kader yang sibuk merancang Satu Abad NU ke depan, Gus Yahya justru sebaliknya.
Ia tampak tak terlalu berminat bicara soal itu. Baginya, seratus tahun, merupakan waktu teramat panjang, penuh kejutan, dan sarat ketidakterdugaan.
Ketidakterdugaan adalah sunnatullah. Dalam situasi seperti itulah, bersama para kiai, Nahdliyin hidup berjamaah. Keterikatan kepada kiai disikapi santri sebagai harga mati.
Merujuk kepada Gus Dur, gurunya, Gus Yahya menempatkan para kiai pengasuh pondok pesantren sebagai cultural broker.
Kedudukannya yang sangat tinggi, menyimpan daya saring sangat efektif atas kemungkinan masuknya nilai-nilai tertentu luar pesantren yang potensial merusak.
Sebagai sebuah subkultur, pesantren memiliki tingkat kemandirian yang sangat kuat, sehingga tidak mudah diintervensi pihak luar.
Ini bisa terjadi, selain karena faktor-faktor yang "wajib" ada di pesantren seperti santri, masjid, asrama, sosok kiai sebagai pengasuh, menjadi faktor determinan.
Maka, bisa disaksikan, pesantren tak pernah berhenti diberkahi dengan lahirnya kiai-kiai besar yang menjelma pagar moral bagi esksistensi pesantren.
Kiai-kiai mencapai maqam seperti ini karena tingkat ketergantungan total kepada Tuhan, dan tidak bisa ditawar-tawar.