Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Lapangan Datar Pilpres 2024

Kompas.com - 15/12/2021, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUSAN Mubarak, lulusan Magister Sosiologi American University di Cairo, tentu merasa lebih pintar dari suaminya, yang konon kabarnya tak pernah membaca koran sebelum ditunjuk Anwar Sadat menjadi wakil presiden Mesir.

Dengan perasaan demikian, sangat wajar kalau Susan Mubarak merasa dirinya sebagai seorang King Maker.

Hosni Mubarak memang terkenal sebagai action man, bukan seorang "thinker."

Namun rencana Susan untuk menggantikan Hosni di puncak kekuasaan Mesir dengan Gamal Mubarak dihadang Arab Spring. Susan pun tak berkutik.

Setelah Hosni Mubarak terpilih lagi untuk keempat kalinya sebagai Presiden Mesir, Susan sudah menyiapkan Gamal Mubarak sebagai penerusnya.

Gamal yang sudah banyak membangun jaringan strategis dengan pengusaha dan elite politik kemudian masuk partai dan memulai karir politik.

Tapi Hosni ternyata masih berhasrat untuk terus berkuasa, sehingga perang dingin terjadi di dalam "Mubarak Family" tersebut.

Di satu sisi ada Susan dan Gamal, di sisi lain ada Hosni dan Ala Mubarak yang netral.

Sampai akhirnya pada tahun 2009, sang cucu kesayangan Hosni meninggal dunia karena penyakit.

Cucu tersebut adalah Muhammed, anak dari Ala, kakak Gamal Mubarak.

Konon santer dikabarkan bahwa Hosni ikut terkubur bersama cucunya, karena begitu sayangnya kepada sang cucu.

Hosni siap-siap untuk "step down," secara prosedural tentunya, setelah infrastruktur politik Gamal siap.

Di sisi lain, Gamal akhirnya memang memenangkan pemilihan secara telak, dengan banyak kecurangan dan lainnya di pemilihan 2010.

Ketika itu, Gamal menjadi sosok penguasa mayoritas yang nyaris tanpa oposisi di Parlemen.

Secara kasat mata, semua terlihat berjalan baik, Gamal menunggu selangkah lagi menuju bangku presiden, sebagai penerus dinasti Hosni Mubarak.

Namun awal tahun 2011, Tunisia bergejolak. Arab spring datang menyambangi. Ben Ali selesai sebagai penguasa di Tunisia.

Awalnya, Hosni Mubarak tidak percaya gelombang Arab Spring dari Tunisia akan merembet tumpah ke Mesir.

Setelah benar-benar terjadi, Hosni bertindak dengan membatalkan semua posisi kabinet dan bersiap melakukan reformasi.

Hampir persis dengan Soeharto di awal tahun 1997, ketika krisis finansial mulai merembes dari Thailand ke Indonesia.

Sayangnya, langkah Hosni tersebut ternyata tak cukup. Massa makin menggila. Aparat pun demikian. Korban berjatuhan.

Dan dari kejauhan, sang aliansi strategis, Presiden Obama, memberikan pidatonya khusus terkait dengan peristiwa di Mesir.

Isi utama pidatonya adalah bahwa era Hosni sudah selesai di Mesir.

Sang diktator kaget bukan kepalang. Hosni tak habis pikir. Dia merasa sudah berjuang habis-habisan untuk kepentingan sang aliansi sejak pertama kali menjadi presiden, tapi kini ia merasa ditusuk dari belakang oleh pihak yang pernah ia perjuangkan.

Sementara itu, sebelum Hosni mengasingkan diri, pertengkaran terjadi di dalam keluarga itu.

Gamal dan Susan bersitegang dengan Hosni, yang dianggapnya terlalu lama menurunkan tahta ke Gamal, yang akhirnya didahului oleh peristiwa Arab Spring.

Di sisi lain, Amerika sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh Israel atas sikapnya yang mengesampingkan Hosni tersebut.

Tahun-tahun tersebut adalah tahun-tahun di mana hubungan Israel dan Amerika kurang baik, terutama sejak Obama naik tahta di Gedung Putih.

Menurut Israel, kalau Hosni dipaksa turun, maka Islam garis keras alias Muslim Brotherhood akan naik tahta.

Analisa Netanyahu ketika itu ternyata benar. Nama Mohamed Morsi terukir di masa Arab Spring Mesir. Ia pun kemudian naik takhta menggantikan Hosni.

Morsi mengirim Hosni dan anaknya ke penjara dan memboikot bisnis suplai gas Mesir ke Israel.

Morsi kala itu nampaknya kurang mengerti bahwa di tangan Hosni, Israel dan Mesir berbisnis gas bumi, yang menjadi salah satu sebab mengapa Hosni tetap mendapat dukungan dari Tel Aviv dan bertahan di atas takhta.

Mesir mendapat hadiah investasi pembangunan instalasi refinary di Alexandria setelah mendorong Arafat berdamai dengan Yitzhak Rabin.

Bisnis tersebut diinisiasi oleh petinggi intelijen Mesir dan Mossad, Kasim Salem dan Yossi Maiman.

Lalu kedua tokoh ini juga menginisiasi bisnis supply gas ke Israel dari Sinai, dengan membangun pipa gas via Mediterania.

Harganya jauh di bawah harga pasar. Tapi Hosni mengizinkannya, karena kampanye Hosni mendapat dukungan dana dari kedua tokoh intelijen tersebut.

Sialnya, di era Morsi, situasi berbalik. Penghentian kontrak pengadaan gas dengan Israel berakibat tuntutan oleh pihak Yossi Maiman ke Israel, sekira 8 miliar dolar.

Lalu salah satu perusahaan minyak dan gas Spanyol juga menuntut Mesir senilai 6 miliar dolar karena tindakan sepihak Morsi.

Mesir di era Morsi memang sedang sial. Mesir kekurangan uang. Utangnya pun jatuh tempo miliaran dolar, terutama utang dari perusahaan Migas Mesir.

Di sisi lain, Israel sudah menemukan cadangan gas yang sangat besar di Mediterania. Walhasil, Israel tak lagi tergantung pada Mesir.

Justru Mesir mengalami hal yang sebaliknya. Cadangan gas mesir mulai habis. Akibatnya Mesir diambang krisis energi dan krisis liquiditas.

Kala itu Morsi tidak mampu memberikan jawaban meyakinkan untuk masa depan Mesir.

Akhirnya Abdul Fattah as Sisi, yang menjadi menteri pertahanan di era Morsi, masuk ke gelanggang politik, menjatuhkan Morsi, dan mengamankan perusahaan Migas mesir.

As Sisi kembali ke meja negosiasi dengan Israel untuk mendapatkan suplai gas dari Israel.

Dengan kata lain, pipa gas dari Sinai ke Israel mau tak mau di balik arahnya, kini aliran gasnya dari Israel ke Mesir.

Situasi berbalik. Mesir kini kembali tergantung pada Israel. Lalu penguasanya kembali ke tipe semula, satu tipe dengan era Hosni, militeristik dan otoriter.

AbduL Fattah as Sisi mampu mengamankan Mesir dari Ancaman krisis plus ancaman kelompok Islam garis keras.

Meskipun tidak demokratis, kondisi tersebut memaksa Obama harus menoleransi kehadiran Abdul Fattah as Sisi, yang juga didukung oleh Tel Aviv.

Tak ada yang pernah membayangkan sebelumnya bahwa Abdul Fattah as Sisi akan berkuasa, atau Hosni akan dihantam Arab Spring atau kebangkitan dunia Arab yang membuat Gamal Mubarak gigit jari.

Pun tak terbayangkan sebelumnya bahwa Arab Spring berumur pendek, karena memberi peluang kepada kelompok Islam garis keras seperti Muslim Brotherhood yang ternyata kurang cocok dengan peta geopolitik yang ada.

Imajinasi yang sama berlaku pada Perancis sebelum diinvasi oleh Adolf Hitler, misalnya.

Maginot Line membuat Perancis merasa nyaman bahwa Jerman tidak akan mampu menembus garis pertahanan Perancis untuk kedua kalinya (setelah perang dunia pertama).

Tapi Hitler memilih jalan lain di luar bayangan Perancis, yakni hutan lebat Ardenesse dengan sokongan pil "pemberani" alias Pervitin alias sabu-sabu.

Perancis pun takluk oleh pasukan Hitler.

Hal-hal tak terbayangkan tersebut bukan sesuatu yang baru. Di Indonesia, nama Soeharto bukanlah nama tenar di tahun 1950-an-1960-an.

Tapi nama itulah yang muncul kemudian sebagai penerus kekuasaan Soekarno setelah peritiwa berdarah 1965.

Bahkan, Angela Merkel tak pernah bermimpi menjadi kanselir Jerman sebelum tembok Berlin runtuh.

Ketika itu Angela hanyalah seorang doktor fisika yang menghabiskan waktunya di laboratorium.

Pun Donald Trump, Jokowi, kembalinya Mahathir Muhamad beberapa waktu lalu, plus kembalinya Joe Biden pada tahun 2020. Semuanya di luar radar proyektif kita.

Jadi jika dikaitkan dengan pilpres 2024, bagi para calon presiden atau para tokoh yang sedang meniti jalan menuju Istana Negara, tapi kalah berisik dibanding tokoh-tokoh utama yang sedang memainkan drama politik hari ini, jangan berkecil hati.

Teruskan mengukir prestasi dan memainkan kartu politik "kebaikan". Sejatinya tak ada yang benar-benar mengetahui apa yang akan terjadi nanti tahun 2024.

Jika sejarah berkehendak, panggilan tentu akan segera datang.

Calon-calon yang benar-benar merepresentasikan ke-Indonesia-an, yang pluralis dan berlatarkan keelokan sikap politik ala dunia timur, yang tidak mengandalkan politik identitas dalam menggelorakan semangat pemilihnya, bersiap-siaplah untuk menjadi nakhoda Indonesia menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dan beradab ke depannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Nasional
Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Nasional
Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Nasional
PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

Nasional
Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Nasional
Timnas Kalahkan Korea Selatan, Jokowi: Pertama Kalinya Indonesia Berhasil, Sangat Bersejarah

Timnas Kalahkan Korea Selatan, Jokowi: Pertama Kalinya Indonesia Berhasil, Sangat Bersejarah

Nasional
Jokowi Minta Menlu Retno Siapkan Negosiasi Soal Pangan dengan Vietnam

Jokowi Minta Menlu Retno Siapkan Negosiasi Soal Pangan dengan Vietnam

Nasional
Ibarat Air dan Minyak, PDI-P dan PKS Dinilai Sulit untuk Solid jika Jadi Oposisi Prabowo

Ibarat Air dan Minyak, PDI-P dan PKS Dinilai Sulit untuk Solid jika Jadi Oposisi Prabowo

Nasional
Jokowi Doakan Timnas U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris 2024

Jokowi Doakan Timnas U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris 2024

Nasional
Menlu Retno Laporkan Hasil Kunjungan ke Vietnam ke Jokowi

Menlu Retno Laporkan Hasil Kunjungan ke Vietnam ke Jokowi

Nasional
Gugatan di PTUN Jalan Terus, PDI-P Bantah Belum 'Move On'

Gugatan di PTUN Jalan Terus, PDI-P Bantah Belum "Move On"

Nasional
Menlu Singapura Temui Jokowi, Bahas Kunjungan PM untuk Leader's Retreat

Menlu Singapura Temui Jokowi, Bahas Kunjungan PM untuk Leader's Retreat

Nasional
Hasto Sebut Ganjar dan Mahfud Akan Dapat Tugas Baru dari Megawati

Hasto Sebut Ganjar dan Mahfud Akan Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Kejagung Sita 2 Ferrari dan 1 Mercedes-Benz dari Harvey Moies

Kejagung Sita 2 Ferrari dan 1 Mercedes-Benz dari Harvey Moies

Nasional
Gerindra Dukung Waketum Nasdem Ahmad Ali Maju ke Pilkada Sulteng

Gerindra Dukung Waketum Nasdem Ahmad Ali Maju ke Pilkada Sulteng

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com