INDONESIA pernah menjadi pusat perhatian dunia ketika memiliki angkatan perang yang kuat. Beberapa tulisan yang beredar di media internasional menyebutkan: Indonesian military forces were considered the strongest in the southern hemisphere.
Hal tersebut mengacu pada kesiapan tempur angkatan perang Indonesia saat Tri Komando Rakyat (Trikora) dan Dwi Komando Rakyat (Dwikora).
Bung Karno sebagai arsitek pembangunan kekuatan perang Indonesia pada 1960-an memiliki beberapa alasan untuk itu. Pertama, tentu saja adalah untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Berikutnya mengalir setelah Trikora, dilancarkan Dwikora yang dinilai sebagai proyek besar imperialisme untuk mengepung Indonesia.
Baca juga: Menyoroti Tentara yang Tidak Menyatu dengan Rakyat...
Indonesia secara geografis memang telah terkepung oleh negara-negara Barat yang terdiri antara lain Australia, Singapura, dan Malaysia yang baru akan dibentuk pada 1960-an.
Bung Karno menyadari benar bahwa upaya "penjajahan" di Bumi Nusantara yang sangat subur dan penuh dengan kekayaan alamnya tidak akan pernah berhenti. Tidak akan pernah berhenti walau Indonesia sudah merdeka, yang pasti tetap merupakan daya tarik bangsa lain melirik kekayaan alam di Bumi Pertiwi.
Itu sebabnya Bung Karno mempopulerkan istilah "neo kolonialisme" dan "neo imperialisme".
Berikutnya, ketika 1975 Indonesia menduduki Timor Timur, walau sudah dalam format yang amat berbeda dengan Trikora dan Dwikora karena sangat berkait dengan perang dingin yang berlandas kepada perbedaan idiologi barat versus komunis.
Baca juga: Mengenang Kegiatan Kepanduan, Pramuka Tempo Doeloe...
Trauma Trikora dan Dwikora tetap saja masih belum hilang dari pemikiran orang di luar Indonesia. Itu pula sebabnya ketika terjadi pergolakan di Timtim yang berujung kepada referendum, maka sangat jelas terlihat keberpihakan Australia bagi Timor Leste yang merdeka terpisah dari Indonesia.
Secara strategi militer tentu saja perhitungan bahwa kawasan Timtim dapat dipergunakan sebagai pangkalan aju bagi Indonesia bila berhadapan dengan Australia.
Ada catatan tersendiri dalam hubungan Indonesia-Australia yang kerap dijuluki sebagai hubungan yang "benci tapi rindu".
Pada awal kemerdekaan adalah Australia yang merupakan salah satu negara pertama yang mendukung dan mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.
Selanjutnya ketika persiapan Trikora tidak dapat disembunyikan betapa kekhawatiran Australia terhadap kekuatan perang Indonesia. Konon pesawat pesawat pembom TU-16 sering sekali "nyasar" di atas wilayah udara kedaulatan Australia tanpa mereka mampu untuk mencegahnya.
Ketika itu Australia belum memiliki kekuatan perang seperti sekarang ini.
Trauma Trikora dan Dwikora bagi negara-negara persekutuan Inggris sangat membekas dan mendalam. Itu sebabnya, bila diperhatikan, maka Singapura, Malaysia, dan Australia selepas era Trikora dan Dwikora membangun besar besaran angkatan perangnya.
Baca juga: Apa yang Dapat Dilihat dari Pembentukan AUKUS?
Mereka tidak ingin terulang lagi sebuah kondisi di mana Indonesia memiliki kekuatan perang terkuat di belahan selatan permukaan bumi.
Tidak sepenuhnya hal itu yang menjadi alasan, akan tetapi secara langsung atau tidak langsung Indonesia memang dapat dinilai sebagai sebuah negara yang cenderung "ëkspansionis".
Walau dengan alasan yang sangat jauh berbeda dan tidak ada hubungannya, akan tetapi urut-urutan perjuangan mengembalikan Irian Barat, Ganyang Malaysia, dan mengambil alih Timtim dapat dilihat sebagai benang merah dari fenomena yang dekat dengan gejala ekspansionistis.
Intinya adalah negara negara Singapura, Malaysia dan Australia tidak pernah akan merasa nyaman tanpa memiliki angkatan perang yang kuat.
Itu sebabnya, maka walaupun kini Indonesia sudah tidak lagi memiliki sebuah angkatan perang yang cukup kuat untuk "ditakuti", tetap saja Singapura, Malaysia, dan Australia memelihara kekuatan perang yang "kuat dan besar".
Bahkan belakangan ini dengan pakta pertahanan tiga negara yang baru dideklarasikan bernama AUKUS, Australia tengah memperkuat armada lautnya dengan kapal kapal selam bertenaga nuklir.
Sebuah fenomena yang sangat tidak mengejutkan sama sekali. Trauma Trikora dan Dwikora memang kelihatannya masih terlihat "membara”.
Di sisi lain, pada dinamika pembangunan angkatan perang Indonesia dalam dua hingga tiga dekade belakangan ini sangat kentara sekali berhadapan dengan banyak hambatan.
Kabar burung, misalnya saja menyiarkan berita tentang "larangan" membeli Sukhoi dari Rusia. Menyiarkan tentang kesulitan membeli pesawat tempur dari Amerika yang kemudian diarahkan untuk membeli dari Eropa saja dan lain sebagainya.
Tentu kabar burung itu semua sulit dikonfirmasi atau diperoleh kebenarannya. Akan tetapi, pada intinya Indonesia memang akan selalu tidak mudah untuk dapat memperoleh jalan mulus dalam langkah melengkapi arsenal persenjataannya.
Tidak mudah untuk menjadi lagi sebuah negara yang kekuatan perangnya dijuluki dengan gelar: the strongest in the southern hemisphere.
Tidak mudah karena sudah terlanjur terpatri trauma Trikora dan Dwikora cetusan Bung Karno. Tidak mudah, karena orang di luar sana tetap masih menyimpan kekhawatiran tentang siapa tahu satu saat akan muncul kembali pemimpin Indonesia inkarnasi dari Bung Karno.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.