KEPALA Polri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Ia mengatakan, Polri siap menampung pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di institusi Polri.
Pernyataan ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Jalan ke sana pasti bukan jalan yang datar.
Ada 57 eks pejabat, penyidik, penyelidik, dan pegawai KPK yang dinyatakan TMS alias tidak memenuhi syarat dan tidak bisa dibina kembali.
Mereka resmi dikeluarkan dari KPK per 30 September 2021. Umumnya, mereka sudah bekerja di KPK selama belasan tahun dan pernah menangani kasus-kasus besar.
Ada kasus Bansos Covid-19 yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dan kasus benih lobster yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Sumber program AIMAN menyebutkan, kasus yang menjerat mantan Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin awalnya digarap oleh mereka yang dipecat.
Awalnya jumlah mereka 57 orang. Namun bertambah 1 orang, jadi 58 orang. Lakso Anindito yang baru pulang dari studi di luar negeri dinyataan tidak lulus beberapa saat sebelum tenggat 30 September 2021.
"Kami berkirim surat untuk memohon terhadap 56 orang yang melaksanakan TWK yang tidak lulus dan tidak dilantik sebagai ASN KPK untuk bisa kami tarik dan kami rekrut menjadi ASN Polri," kata Listyo dalam konferensi pers, Selasa (28/9/2021).
Menurut Listyo, niat ini sudah mendapat restu dari Presiden Jokowi.
Pertanyaannya, apakah niat Kapolri mungkin dilaksanakan?
Karena begini. Mereka dikeluarkan dari KPK karena dianggap tidak bisa dibina lagi terkait pemahaman Pancasila dan UUD 1945. Nah, bukankah menjadi ASN juga menyaratkan pemahaman soal Pancasila dan UUD 1945.
KPK menyatakan tidak bisa membina lagi. Apakah Polri mampu membina? Atau, alasan pembinaan semata-mata alasan yang dibuat-dibuat untuk menyingkirkan mereka?
Persoalan berikutnya. Ke-58 orang ini adalah para jagoan yang kinerjanya nyaris tanpa cacat mampu menggiring para koruptor yang sebagian besar adalah tokoh-tokoh penting ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Nah, jika mereka berada di institusi Polri, apakah tidak akan menimbulkan gesekan? Kita pernah punya kasus Cicak vs Buaya. Apakah kehadiran mereka di insitusi Polri tidak akan menimbulkan Cicak vs Buaya jilid berikutnya?
Cicak vs Buaya jilid pertama pada 2009 berseteru soal tuduhan bahwa KPK menyadap pejabat Polri, Kabareskrim Komjen Susno Duadji. Belakangan, pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah ditetapkan oleh polisi menjadi tersangka dalam sebuah kasus.
Pada 2012 perseteruan kembali terjadi. Kali ini kasusnya adalah korupsi simulator SIM yang menjerat 2 jenderal polisi.
Gedung KPK sempat didatangi pasukan Brimob dan sejumlah penyidik polisi yang hendak menangkap penyidik KPK Novel Baswedan atas kasus dugaan penganiayaan yang terjadi pada 2004.
Tiga tahun kemudian, pada 2015, kembali konflik terjadi. Dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, jadi tersangka.
Bahkan, pasca-revisi Undang-undang KPK, muncul suara yang mengatakan bahwa KPK kini wujudnya masih Cicak yang di dalamnya berisi Buaya. Salah satunya diserukan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati.
Tak bisa dipungkiri, ada bara dalam sekam pada relasi KPK dan Polri. Sumber AIMAN di keluarga besar Polri menyebut, mayoritas polisi di Mabes Polri menolak kedatangan calon keluarga baru eks KPK.
Terlebih, sebagian dari mereka adalah eks anggota Polri yang dengan sukarela sudah menyatakan keluar dari institusi.
Menanggapi persoalan ini, Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman optimistis bahwa resistensi di tubuh Polri ini bisa diatasi.
Ia justru yakin bergabungnya 58 eks KPK ini akan memperkuat Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Sigit.
"Ini cara cerdas yang disampaikan oleh Kapolri. Saya bisa katakan ini merupakan gaya (berkomunikasi) Solo," ungkap Boyamin. Ia menolak menjelaskan lebih gamblang apakah yang ia maksud Solo ini adalah Presiden Jokowi.
Apa yang akan terjadi ke depan memang serba belum pasti. Bagaimana proses rekrutmen Polri terhadap 58 eks pegawai KPK masih jadi pertanyaan.
Namun, ada mekanisme regulasi yang mungkin dijadikan ruang rekrutmen. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 pada Pasal 3 ayat 1 menyebutkan, "Presiden berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS."
Bagaimana pula pembagian tugas dan wewenang. Mereka akan ditempatkan di posisi apa? Apa job desk-nya? Masih banyak lagi pertanyaan di luar kemungkinan gesekan di internal kepolisian.
Tampaknya memang bukan jalan datar yang akan ditempuh menuju ke sana. Perang informasi diprediksi bakal mewarnai proses-proses pengalihan ini ke depan.
Namun, pertanyaan mendasarnya tetap sama, persoalan TWK yang mengeliminasi 58 orang pegawai KPK ini murni terkait soal pemberantasan korupsi atau politis?
Apapun jawabannya, kita hanya bisa berspekulasi. Yang penting, bagaimana kita sebagai warga negara membantu agar negara ini lebih baik.
Benar juga apa yang dikatakan seorang teman saya, "Untuk mengubah negara kita perlu agen-agen perubahan. Semakin banyak agen pemberantasan korupsi menyebar di banyak institusi, semakin cepat perubahan terjadi."
Saya Aiman Witjaksono.
Salam!