Dengan gaji bulanan Rp 20 juta dan kewajiban rapat hampir sebulan sekali, itupun hanya sekali-kali melalui zoom, sahabat saya ini masih mengaku kesulitan hidup.
Sementara, ada sahabat lain yang begitu santuy mencari nafkah. Kerja tidak seberapa tetapi tajir-nya sudah agak melintir. Saya jamin, teman saya yang santuy itu tidak memelihara babi ngepet.
Kerjanya hanya ketemu orang. Meeting istilahnya. Ketemu di kedai kopi, di lobby hotel dan di lapangan golf. Teman saya ini berbisnis “palugada”. Apa yang diminta rekan bisnisnya, dia siap mencarikan barangnya. Mulai dari solar untuk industri, mencari lahan untuk perumahan, buka jasa pengiriman barang hingga jadi youtuber.
Pernah beberapa sahabat yang mantan aktivis ingin menguji coba kemurahan hati dari sesama mantan aktivis yang kebetulan sudah beberapa periode menduduki kursi DPR.
Mereka serempak mengirim pesan melalui gawai meminta bantuan kepada anggota dewan yang juga bekas pekerja pers. Alhasil, semua sahabat saya mendapat balasan yang sama dan tertulis di chat-nya: mandiri!
Balasan itu tentu saja mengejutkan. Teman yang jadi anggota dewan terhormat itu pasti sedang sibuk memikirkan rakyat melalui rapat-rapat maraton dengan mitra kerjanya, tapi masih sempat mengirim balasan yang menyiratkan optimisme.
Mendapat balasan itu, mereka ramai-ramai mengirim nomor rekening bank plat merah milik pemerintah tersebut, sesuai perintah anggota Dewan. Yang tidak punya rekening di bank tersebut tidak kekurangan akal dengan meminjam nomor rekening kerabatnya.
Ternyata perasaan optimistis yang terbersit di awal sontak berubah menjadi kekecewaan. Sahabat yang anggota Dewan tadi, kembali membalas chat dengan perkataan lebih lugas: mandiri, bos!
Untuk meredam rasa kecewa para sahabat yang mantan anggota pergerakan mahasiswa itu, saya pun berkelakar menceritakan pengalaman saya pernah bertemu dengan beliau yang anggota dewan tersebut di cafe sebuah bandara.
Saya yang datang belakangan sengaja tidak menyapanya karena dia terlihat sibuk berbicara dengan alat komunikasinya.
Begitu ada waktu luang, dia hanya menyapa seperlunya. Saya hanya membatin, mungkin anggota dewan itu terlalu penat dengan urusan politik dan memikirkan konstituennya sehingga tidak bisa berbincang seperti dulu yang akrab sekali dan alih-alih membayarkan kopi yang saya tenggak.
Padahal semasa menjadi wartawan sebelum reformasi silam, dia kerap menumpang di kendaraan dinas saya. Saya kasian karena dia harus cepat ke kantornya untuk mengejar deadline sementara bus kota yang dia nanti lama tibanya di halte bus umum.
Kalau warga Probolinggo, Jawa Timur, ditanya siapa orang yang paling beruntung dan paling bahagia serta kaya di daerah itu, mereka akan kompak menjawab bupati dan suaminya.
Jawaban itu saya peroleh sebelum kasus Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) terhadap Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya Hasan Aminuddin yang juga anggota DPR-RI (Kompas.com, 30/08/2021).
Ketika berkesempatan memenuhi undangan sebagai pembicara di Probolinggo sebelum pandemi, saya menyempatkan keliling ke seantero daerah tersebut. Ternyata saya baru paham kalau jabatan kepala daerah di Probolinggo tersebut hanya bergulir diantara orang-orang yang “itu-itu saja”.