Salin Artikel

Kasus Probolinggo, Saat Keserakahan Melupakan Rasa Syukur

ENTAH mengapa, kadang kita tidak pernah sedikitpun merasa beruntung dalam kehidupan. Semua hal yang terjadi selalu diratapi dengan kata sial. Mendapat mutasi ke daerah terpencil dikatakan sial sementara yang berada di pusat disebut beruntung.

Tuhan punya skenario indah, ternyata teman yg dimutasi ke daerah berhasil menuai pujian karena prestasinya susah disaingi rekan-rekannya di daerah. Jabatannya meroket. Sebaliknya teman yang disebut beruntung tadi tenggelam dalam persaingan orang-orang hebat yang ada di pusat.

Ada cerita, seorang sahabat saya terpilih jadi calon anggota legeslatif (caleg) dari sebuah partai besar. Awalnya dia begitu bersemangat karena terjaring menjadi caleg. Semua perkataan yang dia ucapkan selalu ditutup dengan kata: merdeka! Ibaratnya waktu itu, dia sudah menjelma menjadi bung kecil.

Begitu nomor urut caleg resmi keluar, dia begitu masygul dengan partainya. Dia ditabalkan di nomor urut 5. Dia menganggap dewan pimpinan pusat partai tidak menghargai prestasi, dedikasi, loyalitas dan rekam jejak pribadinya yang bersih tanpa perbuatan tercela baik dari aspek hukum atau terhadap partai. Istilah ini biasanya dikenal di partainya dengan sebutan PDLT.

Saat kampanye di daerah pemilihan, dia tidak begitu bersemangat karena merasa hanya akan mendapat ampas suara alias suara tersisa. Modal kampanyenya pun terbilang pahe atau paket hemat.

Dia begitu khawatir menyapa warga karena takut disodori aneka proposal. Kehidupan ekonominya saja masih kembang kempis alias di atas prasejahtera. Kampanye baginya adalah musim terburuk, ibarat kesebelasan Arsenal yang selalu kalah di setiap pertandingan pembuka Liga Inggris.

Saat penentuan nasib ke Senayan tiba, hasilnya sudah diprediksi. Hanya dua caleg dari partainya yang lolos. Caleh-caleg yang ada di urutan bawahnya harus mengubur mimpi menjadi anggota dewan yang terhormat.   

Sahabat saya terpuruk. Dia meratap penuh kekecewaan. Dia merasa waktu yang dihabiskan di daerah pemilihan sia-sia.

Sekali lagi, Gusti mboten nate sare alias Tuhan tidak pernah tidur. Seperti ketiban durian runtuh, saya saya yang frustrasi politik ini mendapat kursi menggantikan caleg yang bernomor punggung kecil di atasnya. 

Dua caleg terpilih terkena kasus korupsi dan wafat karena sakit. Dua caleg di bawah mereka juga tersandung masalah rasuah. Sahabat saya yang bernomor 5 pun terpilih masuk. Tidak hanya dia, caleg nomor 6 pun terseret ikut ke Senayan karena terjaring di proses penggantian antar waktu (PAW). Itulah nasib.

Semenjak itu, sahabat saya ini kembali mengumandangkan pekik merdeka. Dia tidak lagi merasa di PHP-in (pemberi harapan palsu) dari partainya. Dia sudah kembali menjadi “bung” lagi walau tetap kecil.

Terus meratap tanpa mensyukuri nikmat

Kerap sekali kita menyesali diri kenapa rezeki yang kita dapat tidak membuat kita cepat kaya. Padahal pergi selalu pagi, pulang selalu larut. Berangkat kerja saat anak masih terlelap dan kembali ke rumah lagi sewaktu anak sudah tidur.

Ibaratnya, kaki dijadikan kepala dan kepala ditukar jadi kaki. Membanting tulang hingga akhirnya tulang merasa kebal dibanting karena terlalu banyak pekerjaan.

Sahabat saya yang lain juga begitu: beruntung di mata saya tetapi dia merasa belum seberuntung seperti yang saya kira. Sebelum ditunjuk menjadi komisaris di sebuah anak perusahaan badan usaha milik negara (BUMN), sahabat saya ini tidak memiliki pekerjaan tetap.

Usai kalah berlaga di pentas pemilihan calon anggota legislatif, dia harus pulang ke kampung asalnya untuk membuka usaha kecil-kecilan. Koneksinya yang bagus di elite partai membuat dia ditunjuk menjadi komisaris.

Dengan gaji bulanan Rp 20 juta dan kewajiban rapat hampir sebulan sekali, itupun hanya sekali-kali melalui zoom, sahabat saya ini masih mengaku kesulitan hidup.

Sementara, ada sahabat lain yang begitu santuy mencari nafkah. Kerja tidak seberapa tetapi tajir-nya sudah agak melintir. Saya jamin, teman saya yang santuy itu tidak memelihara babi ngepet.

Kerjanya hanya ketemu orang. Meeting istilahnya. Ketemu di kedai kopi, di lobby hotel dan di lapangan golf. Teman saya ini berbisnis “palugada”. Apa yang diminta rekan bisnisnya, dia siap mencarikan barangnya. Mulai dari solar untuk industri, mencari lahan untuk perumahan, buka jasa pengiriman barang hingga jadi youtuber.

Pernah beberapa sahabat yang mantan aktivis ingin menguji coba kemurahan hati dari sesama mantan aktivis yang kebetulan sudah beberapa periode menduduki kursi DPR.

Mereka serempak mengirim pesan melalui gawai meminta bantuan kepada anggota dewan yang juga bekas pekerja pers. Alhasil, semua sahabat saya mendapat balasan yang sama dan tertulis di chat-nya: mandiri!

Balasan itu tentu saja mengejutkan. Teman yang jadi anggota dewan terhormat itu pasti sedang sibuk memikirkan rakyat melalui rapat-rapat maraton dengan mitra kerjanya, tapi masih sempat mengirim balasan yang menyiratkan optimisme. 

Mendapat balasan itu, mereka ramai-ramai mengirim nomor rekening bank plat merah milik pemerintah tersebut, sesuai perintah anggota Dewan. Yang tidak punya rekening di bank tersebut tidak kekurangan akal dengan meminjam nomor rekening kerabatnya.

Ternyata perasaan optimistis yang terbersit di awal sontak berubah menjadi kekecewaan. Sahabat yang anggota Dewan tadi, kembali membalas chat dengan perkataan lebih lugas: mandiri, bos!

Untuk meredam rasa kecewa para sahabat yang mantan anggota pergerakan mahasiswa itu, saya pun berkelakar menceritakan pengalaman saya pernah bertemu dengan beliau yang anggota dewan tersebut di cafe sebuah bandara.

Saya yang datang belakangan sengaja tidak menyapanya karena dia terlihat sibuk berbicara dengan alat komunikasinya.

Begitu ada waktu luang, dia hanya menyapa seperlunya. Saya hanya membatin, mungkin anggota dewan itu terlalu penat dengan urusan politik dan memikirkan konstituennya sehingga tidak bisa berbincang seperti dulu yang akrab sekali dan alih-alih membayarkan kopi yang saya tenggak.

Padahal semasa menjadi wartawan sebelum reformasi silam, dia kerap menumpang di kendaraan dinas saya. Saya kasian karena dia harus cepat ke kantornya untuk mengejar deadline sementara bus kota yang dia nanti lama tibanya di halte bus umum.

Bupati Probolinggo dan suaminya

Kalau warga Probolinggo, Jawa Timur, ditanya siapa orang yang paling beruntung dan paling bahagia serta kaya di daerah itu, mereka akan kompak menjawab bupati dan suaminya.

Jawaban itu saya peroleh sebelum kasus Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) terhadap Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya Hasan Aminuddin yang juga anggota DPR-RI (Kompas.com, 30/08/2021).

Ketika berkesempatan memenuhi undangan sebagai pembicara di Probolinggo sebelum pandemi, saya menyempatkan keliling ke seantero daerah tersebut. Ternyata saya baru paham kalau jabatan kepala daerah di Probolinggo tersebut hanya bergulir diantara orang-orang yang “itu-itu saja”.

Selama dua periode, Hasan Aminuddin menjabat sebagai Bupati Probolinggo. Usai lengser, Hasan bergeser ke Senayan dan menjadi anggota dewan terhormat.

Sementara posisi yang ditinggalkannya dijabat oleh istri keduanya, Puput Tantriana Sari yang mantan karyawan sebuah bank di Jawa Timur itu.

Hebatnya lagi, saat tertangkap Puput sedang menjabat di periode kedua sebagai bupati. Pasangan suami istri ini ditangkap KPK karena dugaan jual beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Probolinggo (Kompas.id, 30/08/2021)

Hasan adalah anggota DPRD Probolinggo kawakan jauh sebelum menjadi orang nomor 1 di Probolinggo. Selama menjabat bupati, kalangan penggiat koropsi di Probolinggo mencatat Hasan selalu “lolos” dari temuan dan laporan masyarakat soal kasus-kasus yang ditengarai berbau “kongkalingkong” dan “mark up”.

Ada laporan soal program pemberdayaan fakir miskin, pengadaan sistem penyediaan air minum dan proyek pembangunan gedung Islamic Center.

Di DPR pun, Hasan termasuk satu dari 45 orang pengusul revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2003 tentang KPK pada 2015 silam.

Kaya itu ada di hati

Saya belajar banyak dari seorang sahabat yang pernah menjadi pekerja lembaga asing (NGO) di Aceh saat bumi Serambi Makah ini tersapu tsunami.

Hasil kerja kerasnya diwujudkan dengan membeli tanah dan membangun pondok untuk keluarganya di pinggi kali di Kawasan Pakem, Yogyakarta.

Jika ada kelebihan dana, dibangun lagi pondok-pondok yang lain untuk disewakan sebagai kamar bagi pengunjung.

Istrinya memasak nasi goreng kampung dan singkong goreng, sementara kawan saya ini sesekali memeriksa apakah ada pesanan kamar atau tidak dari turis mancanegara dari laptopnya.

Ritme hidupnya begitu lamban bergerak, tidak seperti di Ibukota di mana kehidupan harus dicari bahkan dikejar setengah mati. Sembari menikmati Gunung Merapi, sahabat saya ini mengisi harinya dengan dentingan gitar dan celoteh burung prenjak.

Ternyata sejatinya rasa "kaya" itu ada di hati. Di sanubari kita. Kita kerap bekerja keras tetapi tidak ikhlas. Selalu ngedumel seolah Tuhan tidak pernah berpihak.

Sebaliknya, ada yang bekerja ala kadarnya tetapi tiada henti mengucap syukur. Rasa syukur selalu dimanifestasikan dengan kerja cerdas.

Seberapapun rezeki yang tertangguk jika tidak dilandasi dengan ucap syukur, sepertinya tidak ada kata cukup. Kebutuhan duniawi jika dituruti terus tanpa henti, ibaratnya sumur tanpa dasar.

Harus kita akui, banyak sahabat-sahabat saya dan saya sendiri kerap melupakan kata syukur. Keserakahan mencari materi, seperti tiada habisnya. Serakah adalah harus dilakukan. Semua harus dihabiskan. Tanpa tersisa sedikit pun.

Kasus Probolinggo meninggalkan kekhidmatan: urip sadermo nglakoni tumekaning takdir.

Menjalani takdir dengan tulus, ikhlas, dan bersyukur agar hidup menjadi tenteram dan damai.

https://nasional.kompas.com/read/2021/08/30/16563101/kasus-probolinggo-saat-keserakahan-melupakan-rasa-syukur

Terkini Lainnya

Puncak Perayaan HUT Ke-78 TNI AU Akan Digelar di Yogyakarta

Puncak Perayaan HUT Ke-78 TNI AU Akan Digelar di Yogyakarta

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Sudirman Said Berharap MK Penuhi Rasa Keadilan

Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Sudirman Said Berharap MK Penuhi Rasa Keadilan

Nasional
Sejauh Mana 'Amicus Curiae' Berpengaruh pada Putusan? Ini Kata MK

Sejauh Mana "Amicus Curiae" Berpengaruh pada Putusan? Ini Kata MK

Nasional
Alasan Prabowo Larang Pendukungnya Aksi Damai di Depan MK

Alasan Prabowo Larang Pendukungnya Aksi Damai di Depan MK

Nasional
TKN Prabowo Sosialisasikan Pembatalan Aksi di MK, Klaim 75.000 Pendukung Sudah Konfirmasi Hadir

TKN Prabowo Sosialisasikan Pembatalan Aksi di MK, Klaim 75.000 Pendukung Sudah Konfirmasi Hadir

Nasional
Tak Berniat Percepat, MK Putus Sengketa Pilpres 22 April

Tak Berniat Percepat, MK Putus Sengketa Pilpres 22 April

Nasional
Prabowo Klaim Perolehan Suaranya yang Capai 58,6 Persen Buah dari Proses Demokrasi

Prabowo Klaim Perolehan Suaranya yang Capai 58,6 Persen Buah dari Proses Demokrasi

Nasional
Hakim MK Hanya Dalami 14 dari 33 'Amicus Curiae'

Hakim MK Hanya Dalami 14 dari 33 "Amicus Curiae"

Nasional
Dituduh Pakai Bansos dan Aparat untuk Menangkan Pemilu, Prabowo: Sangat Kejam!

Dituduh Pakai Bansos dan Aparat untuk Menangkan Pemilu, Prabowo: Sangat Kejam!

Nasional
Sebut Pemilih 02 Terganggu dengan Tuduhan Curang, Prabowo: Jangan Terprovokasi

Sebut Pemilih 02 Terganggu dengan Tuduhan Curang, Prabowo: Jangan Terprovokasi

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anggaran Kementan untuk Bayar Dokter Kecantikan Anak SYL | 'Amicus Curiae' Pendukung Prabowo

[POPULER NASIONAL] Anggaran Kementan untuk Bayar Dokter Kecantikan Anak SYL | "Amicus Curiae" Pendukung Prabowo

Nasional
Tanggal 21 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Batalkan Aksi di MK

Prabowo Minta Pendukung Batalkan Aksi di MK

Nasional
Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Nasional
Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke