JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan Presiden Joko Widodo soal kesetaraan akses terhadap vaksin Covid-19 dinilai kontradiktif dengan kebijakan dalam negeri.
Pernyataan itu diungkapkan Jokowi saat berpidato di Forum Tingkat Tinggi Dewan Ekonomi Sosial PBB secara virtual, Selasa (13/7/2021). Namun, pemerintah justru menyiapkan skema vaksinasi individu berbayar.
Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono menilai, kebijakan melalui program Vaksinasi Gotong Royong itu berisiko menimbulkan ketidakadilan.
"Dia (Presiden Jokowi) memperjuangkan kan equity (keadilan) dalam akses vaksin, tetapi dia malah mendukung kebijakan yang memungkinkan terjadi inequity (ketidakadilan)," kata Pandu saat dihubungi Kompas.com, Jumat (16/7/2021).
Baca juga: Saat Jokowi Serukan Kesetaraan Vaksin di Sidang Umum PBB, tetapi Pemerintah Sediakan Vaksin Berbayar
Dalam forum tersebut, Jokowi menyatakan soal kesenjangan yang sangat lebar terhadap akses vaksin Covid-19 di dunia.
Padahal, akses vaksin yang merata bagi seluruh negara penting untuk membebaskan dunia dari pandemi.
Jokowi pun mendorong agar realisasi kesetaraan akses vaksin bagi semua negara dipercepat. Salah satunya dengan berbagi dosis vaksin melalui skema Covid-19 Covax (Vaccines Global Access) facility.
Menurut Pandu, Jokowi seharusnya menolak konsep vaksinasi berbayar jika mendukung kesetaraan terhadap akses vaksin Covid-19.
"Seharusnya kalau dia memperjuangkan equity, dia tidak setuju dengan konsep vaksin gotong royong," ujarnya.
Baca juga: Vaksinasi Individu Berbayar Bisa Digelar oleh Fasilitas Layanan Kesehatan Swasta
Selain itu, Pandu juga sependapat dengan kritik dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menganggap kebijakan vaksinasi berbayar tidak tepat dilaksanakan di saat pandemi Covid-19.
Pandu menekankan, jika ada masalah anggaran, saat ini banyak lembaga internasional yang ikut membantu dalam pengadaan vaksin melalui Covax Facility.
"Bahkan bank dunia, lembaga keuangan dunia memberikan bantuan ke Covax agar negara berkembang bisa akses vaksin itu kan bagian dari equity vaksin," ucapnya.
Di sisi lain, Pandu juga meminta pemerintah transparan dalam distribusi vaksin, khususnya 500.000 dosis vaksin Sinopharm yang didapatkan dalam bentuk hibah dari Uni Emirat Arab.
"Itu (dosis vaksin) harusnya sudah diberikan kalau enggak ya expired dan harus terbuka diberikan kepada siapa. Itu kan cukup besar banyak dosisnya 500.000 dosis," pungkasnya.
Melanggar hak dan etika