Sebuah pesan masuk ke telepon tangan saya. Semalam, 25 Mei 2021, pukul 18.40 WIB. Pesan itu dari adik terbungsu Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman, Erny Sugiarti (49 tahun).
“Alhamdulillah, Aa Dudung jadi Pangkostrad, Mbak...”
Pesan itu pendek, tetapi mengandung makna bahagia yang luar biasa. Pagi tadi, saya telepon Teh Erny, begitu saya biasa memanggilnya, yang jelas, tak bisa menahan haru dari kalimatnya.
Terbayang bagaimana Aa (kakak laki-laki dalam bahasa Sunda) Dudung, menambah lagi satu bintang di pundaknya dan akan menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (KOSTRAD) ke-42 menggantikan Letjen TNI Eko Margiono. Sejalan dengan jabatan ini, tak lama lagi bintang di pundaknya pun akan bertambah. Letnan Jenderal.
“Bapak dan Ibu, pasti bahagia menyaksikan dari atas sana,” Erny berucap mengenang Bapak-Ibu mereka.
(Almarhum Bapak Achmad Nasuha, PNS-TNI yang orang Cirebon dan almarhumah Ibu Nasiyati, ibu rumah tangga, putri kelahiran Serang-Banten, yang menafkahi sendirian kedelapan putra-putri mereka setelah suaminya berpulang pada tahun 1981. Dudung Abdurachman adalah anak ke-6 dari delapan bersaudara, sedangkan Erny Sugiarti adalah si paling bungsu).
Tulisan ini adalah secuplik bagian dalam buku biografinya, “Letjen TNI Dudung Abdurachman, Loper Koran Jadi Jenderal, Seni Kepemimpinan”, yang akan terbit oleh Penerbit Buku Kompas tidak lama lagi.
Kita bisa mengenal sedikit masa kecil Mayjen TNI Dudung Abdurachman dari kisah yang dituturkan adik bungsunya ini. Eneng¸demikian panggilan Dudung Abdurachman kepada Erny, sejak mereka kanak-kanak.
Saat Mayjen Dudung bertugas sebagai Gubernur Akademi Militer, saya pernah bertanya, apa yang membuatnya begitu mudah dan lancar dalam karier militernya. Mayjen Dudung menjawab, doa ibu saya.
“Doa ibu, restu ibu, dukungan ibu, selalu bertanya pada ibu” adalah kata-kata yang sering diulangnya dalamberbagai kesempatan ketika ditanyakan pertanyaan yang sama.
Kutipan kata-katanya yang tepat menjadi motivasi, khususnya untuk kaum muda, adalah: “Bila punya cita-cita, luruslah pada cita-cita itu, selalu mohon restu Ibu dan selalu berdoa pada Yang Maha Pemberi.”
Doa ibunda, menurut Mayjen Dudung, tertuang dalam masakan. Semua masakan yang sampai hari ini jadi kegemaran utama Mayjen Dudung adalah selera kampung ibundanya, masakan Banten.
Ibunda Dudung dan Erny bersaudara, Hajah Nasiyati, lahir di Kota Serang Banten, 25 Oktober 1935; meninggal dunia di Bandung 13 Desember 2012. Putri Banten asli dengan kedua orang tuanya juga berasal dari Serang-Banten: pasangan Haji Abdul Halim dan Ibu Hajah Sama’iah. Kegemaran memasak ibunda Nasiyati inilah yang kemudian menjadi penopang nafkah sekeluarga dengan delapan putra-putri.
Sejak suaminya, Bapak Achmad Nasuha yang asli Cirebon, berpulang pada 13 April 1981, Ibu Nasiyati membesarkan delapan orang anaknya seorang diri. Jago masak, menjadi pintu rezekinya, karena ia sering memasak kue dan makanan untuk dijual sebagai nafkah keluarga. Juadah buatannya menjadi pengisi tetap kantin Kodam III Siliwangi. Salah satu juadah itu adalah kelepon legendaris yang membuat Mayjen Dudung bangkit semangatnya menjadi tentara.
Baca juga: Loper Koran Jadi Jenderal, Cerita Pemimpin Akademi Militer
Erny memberi jawaban menarik. Rupanya, niat Aa Dudung menjadi tentara itu datang justru dari almarhum ayah mereka, almarhum Bapak Achmad Nasuha yang seorang pejuang kemerdekaan dan veteran tentara pelajar.
“Dulu, Bapak saya itu suka sekali dengan AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia-red). Bapak ingin sekali punya anak masuk AKABRI. Keinginan itu diulang terus pada kami anak-anaknya. Aa Dudung, selalu jadi harapan Bapak untuk jadi tentara. Maka, keinginannya semakin kuat setelah Bapak sudah tidak ada,” Kata Erny.
Kepada kedua adik perempuannya, Ety dan si bungsu Erny, Aa Dudung juga tak pernah berhenti memberi perhatian. Apalagi sejak berpenghasilan sebagai loper koran, ia tak lupa menyisihkan penghasilannya untuk kebutuhan adik-adik.
Mayor CHB Daya Bakir, Komandan Koramil 0923 Padalarang, Jawa Barat, pernah bercerita tentang Mayjen TNI Dudung Abdurachman, yang merupakan teman masa kanak-kanaknya ini.
“Asrama Jalan Belitunglah yang memicu kami ingin jadi tentara. Kami sering bermain memanjat tembok pembatas asrama tempat tinggal kami," kenang Mayor CBH Daya Bakir.
Mayor CBH Daya Bakir bercerita, asrama itu terdiri dari tiga blok barak memanjang. Barak sederhana yang bangunannya setengah tembok, setengah gedeg, dengan atap bocor di sana-sini.
"Tetapi di sanalah kami memupuk cita-cita dan asa bersama.
Dia mengenang, satu blok dihuni 20-30 keluarga tentara. Jadi, sekitar 80 keluarga tinggal di sana.
"Asrama yang dicatat sebagai satu rukun tetangga itu, dipimpin oleh seorang Letnan Dua, yang biasa kami panggil Pak Harry Pondaag."
Awalnya, lanjut dia, bangunan itu adalah tempat parkir kendaraan tentara yang besar-besar. Lalu, disekat-sekat dan dijadikan asrama tentara. Temboknya berbatasan dengan Ajendam Kodam III/Siliwangi.
"Jadi, tiap ada seleksi Akmil, dulu Akabri, kami selalu monitor, mengintip dari balik tembok. Dalam hati, selalu menggelora semangat ingin juga jadi tentara seperti mereka..." cerita Mayor CBH Daya Bakir.
Mayjen TNI Dudung sejak kecil sampai remaja adalah jagoan hampir semua permainan. Ia juga ahli strategi dan senang berlaku sebagai pemimpin.
“Maka jangan heran kalau sedang main perang-perangan, saya selalu jadi anak buahnya,” kenang Mayor CHB Daya Bakir.
Setiap peringatan 17 Agustusan di asrama, habis setiap nomor olahraga, dari bulutangkis, sepak bola sampai tenis meja, disapu bersih oleh Dudung dan timnya.
Semua orang yang menjadi saksi masa remaja Dudung Abdurachman, mengingat bagaimana berbaktinya ia kepada ibundanya. Terlebih saat ayah mereka telah berpulang.
“Ia anak yang sangat rajin. Semua yang dilakukan di luar saat bersekolah, berolahraga atau bermain musik, dilakukan untuk meringankan beban ibunya. Mulai dari mencuci pakaian kotor sekeluarga, meloper koran, mengantarkan kue-kue ke kantin-kantin langganan. Semua dikerjakan Dudung sebelum sekolah."
"Lalu menjelang masuk sekolah, ia mengambil nasi dan bilang, ‘Mami, Dudung boleh minta sambalnya ya,” demikian cerita Ibu Harry Pondaag, 68 tahun, ibu kedua yang biasa dipanggil “Mami” oleh Dudung.
Ibu Harry istri seorang satu-satunya perwira di asrama tentara di Jalan Belitung, Bandung. Tempat tinggal masa kecil Mayjen TNI Dudung Abdurachman.
Ibu adalah sumber petuah hidupnya. Terutama karena Bapak telah meninggal dunia. Bahkan ketika baru lulus dari Akademi Militer, Letda Inf. Dudung Abdurachman mendengarkan dengan seksama petuah hidup dari ibunya tentang apa yang harus dijalaninya sebagai seorang militer.
Itulah sebabnya, berbakti kepada ibunda selalu menjadi bagian nasihatnya kepada yunior sampai tarunanya ketika ia memimpin Akademi Militer.
“Ibumu-Ibumu-Ibumu, baru Ayahmu. Demikian kata Rasullulah,” nasihat Dudung dalam berbagai kesempatan.
Saya kemudian meminta persetujuan Mayjen TNI Dudung Abdurachman, judul buku ini –yang semula menyebut pangkatnya “Mayor Jenderal”- kini menerakan pangkat baru seiring amanah yang diembannya: “Letnan Jenderal”.
Panglima KOSTRAD atau lebih populer disebut Pangkostrad, adalah jabatan puncaknya saat kisah ini selesai dituturkan.
Namun, bukan berarti catatan perjalanan jejak pengabdian Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dicintainya, juga selesai. Kita semua akan menjadi saksi perjalanan hidupnya yang lurus seperti janjinya ini: Di mana saya ditugaskan, integritas dan cinta NKRI saya tak akan berubah.
Jalan kehidupan seorang anak manusia, tentu saja rahasia Sang Pencipta. Tapi, kita harus berikhtiar, berbakti pada orang tua dan terutama Ibu dan selalu tak putus beribadah dan bersedekah. Semoga, pengalaman hidupnya yang masih panjang ini, menjadi panutan generasi muda Indonesia.*
Letjen TNI Dudung Abdurachman S.E., M.M.
(Dari seorang Perwira Remaja, Letnan Dua (Juli 1988), sampai hari ia diangkat resmi sebagai Pangkostrad, 25 Mei 2021). Sumber: Penhumas Akademi Militer dan Penerangan Kodam Jaya/Jayakarta).
(Penulis kolom adalah penulis buku “Letjen TNI Dudung Abdurachman, Loper Koran Jadi Jenderal, Seni Kepemimpinan”, akan diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada Juni 2021).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.