Ada dua masalah yang dihadapi ekosistem parlemen di era digital. Pertama, bagaimana merawat eksistensi parlemen. Teknologi digital memberikan otoritas nyaris tanpa batas bagi publik untuk menyuarakan aspirasinya. Tidak ada penghalang. Sampai muncul anekdot, “maha benar netizen” dengan segala pernyataannya.
Jadi, parlemen bersaing dengan teknologi digital. Bukan mustahil, kelak ada ide membentuk dewan perwakilan netizen dengan segala plus minusnya.
Kedua, bagaimana parlemen tidak gagap digital. Malah, harus menunggangi teknologi untuk percepatan kelola aspirasi publik.
Selama ini, aplikasi DPR Now merupakan sarana untuk mewujudkan hal di atas. Namun, tentu aplikasi ini perlu terus dikembangkan. Dikemas menarik agar kelompok millenial tertarik berpartisipasi.
Yang pasti, masa depan parlemen di era digital lebih kompleks. Kepekaan memiliki frekuensi dan keberpihakan dengan konstituen menjadi hal esensial.
Parlemen kini banyak kompetitornya. Tidak sedikit lembaga formal dan non formal di masyarakat menjalankan fungsi kontrol serupa dengan parlemen. Mungkin pembedanya, mereka kalah kuat dari segi legalitas. Namun bisa jadi unggul dari kemasan, substansi dan inovasi.
Apalagi ini bukan zaman konyol monopoli kebenaran. Jika parlemen kaku, konservatif, atau malah sibuk dengan agenda setting sendiri, bukan mustahil ditinggal. Dunia kompetisi meraih simpatik publik demikian keras. Tidak progresif akan tersingkir.
Mungkin, parlemen bukan tidak mau bermutu memperjuangkan aspirasi. Namun ada belitan sistem berkolestrol pekat. Membuat obesitas di tubuh parlemen.
Seperti mahalnya ongkos politik pemilu. Banyak “kaum” proposal datang dari relawan yang merasa berjasa menempatkan sang legislator di tahta Senayan.
Belum lagi godaan mengamankan posisi demi pemilihan akan datang. Situasi seperti itu mengundang aroma tukar tambah kepentingan. Memilih bersikap aman meski meminggirkan publik demi logistik masa depan.
Dari sisi hukum, upaya penguatan parlemen telah dikirimkan sinyalnya melalui beberapa kali perubahan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Namun, menurut hemat penulis, masih terbatas kosmetik. Perubahan itu kerap berkutat pada unsur-unsur struktur organ dan kewenangan tertentu. Seperti penambahan unsur pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) misalnya. Namun belum bicara sisi lebih substansial. Seperti, bagaimana konstruksi MPR selama ini.
Apakah tepat jadi lembaga tersendiri. Atau seharusnya dimaknai sekadar forum pertemuan sehingga ongkos bernegara bisa dihemat. Tentu ini sebagai cara untuk memaknai konstitusi yang memang sedari awal tidak jelas menempatkan MPR secara kelembagaan.
Hal lain adalah bagaimana DPR melakukan penguatan, tidak hanya membentuk undang-undang.
Namun, tugas berat lainnya mengevaluasi apakah undang-undang produknya implementatif? Atau malah menimbulkan masalah pelik dalam penyelenggaraan negara. Seperti tersirat dari polemik panjang undang-undang cipta kerja.