Tak heran, kelas Hukum dan HAM yang beliau ampu setiap hari Sabtu selalu penuh. Padahal Sabtu bukan hari favorit mahasiswa untuk mengambil mata kuliah. Sejak menjadi Hakim Agung, beliau memang hanya mengajar di hari Sabtu.
Di kelas beliau, banyak mahasiswa yang memilih duduk di lantai atau sekadar berdiri di belakang. Hal ini bukan karena kampus gagal mendesain kuota maksimal per kelas. Namun karena ada banyak mahasiswa yang tidak mengambil mata kuliah tersebut, namun memilih untuk ikut hadir dan mendengarkan.
Baca juga: INFOGRAFIK: Mengenang Artidjo Alkostar
Berkaca dari situasi tersebut, saya merasa wajar jika sebagai moderator menyisipkan pertanyaan prolog seperti di atas.
Namun harapan saya tidak terwujud. Beliau menjawab pertanyaan saya dengan datar, “Kalau tidak berani, ya tidak usah jadi penegak hukum, jualan buah saja sana di pasar.” Saya dan hadirin melongo sambil tertawa getir.
Perjumpaan saya dengan Pak Artidjo memang tidak pernah dekat dan hangat. Saya dengar memang begitulah lazimnya sikap beliau dengan banyak orang.
Tapi saya tetap berusaha belajar dan menggali dari jauh mengenai pribadi beliau. Terhadap kejadian pertama, saya memaknai sikap Pak Artidjo di atas sebagai sikap kehati-hatian dan sikap independensi.
Baca juga: Saat Artidjo Alkostar Berikan Vonis Bebas kepada “Office Boy” yang Dijerat Kasus Korupsi…
Pada kejadian kedua, saya memaknai beliau sebagai orang yang apa adanya, tidak ingin mencari panggung, dan tidak ingin orang mengapresiasi dirinya atau membuat dirinya sebagai rujukan.
Beliau bahkan juga tidak tertarik dengan penghargaan. Sehingga ketika tahun 2014 almamater dan tempat kerjanya ingin memberikan UII Award, beliau menolaknya.
Tampaknya, Pak Artidjo menilai bahwa apresiasi itu berlebihan, padahal untuk standar masyarakat, tidak ada yang salah dengan hal tersebut.
Saya bersyukur kiprah beliau telah dibukukan. Buku “Negara Tanpa Hukum, Catatan Pengacara Jalanan”, adalah buku impresif yang menceritakan pengalaman beliau untuk menegakkan keadilan ketika menjadi advokat di zaman Orde Baru.
Baca juga: Jokowi Kenang Artidjo Alkostar: Rajin, Jujur, Punya Integritas Tinggi
Adapun buku “Alkostar: Sebuah Biografi” memberikan tambahan informasi tentang kiprah beliau menegakkan hukum ketika duduk sebagai hakim MA.
Sebagai pengajar mata kuliah etika profesi, saya merekomendasikan mahasiswa untuk membaca kedua buku di atas. Selain mempelajari biografi yang mengulas para pendekar hukum lainnya seperti Baharudin Loppa, Adi Andojo, Yap Thiam Hien.
Semoga kita bisa belajar dan meneladani kesalehan sosial Artidjo dan para pendekar hukum, sekalipun tidak bertatap muka langsung.
Pak Artidjo baru saja dipanggil Yang Maha Kuasa. Selamat beristirahat, Pak. (Richo Andi Wibowo, Dosen FH Universitas Gadjah Mada)