SAYA menyapanya dengan hangat dan takdzim ketika saya melihat beliau di depan rak buku tema hukum di Gramedia Yogyakarta sekitar tahun 2009. Saya memperkenalkan diri sebagai salah satu muridnya dulu di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Lazimnya, guru selalu senang dan merespons ramah jika ada mantan muridnya menyapa. Tapi tidak demikian dengan Pak Artidjo Alkostar. Ia menjawab dengan amat datar, “Oh, ya?” Lalu, dengan nada setengah menginvestigasi, ia bertanya, “Anda aktif di mana sekarang?”
Saya langsung menduga arah pertanyaan ini. Saya kerap mendengar cerita bahwa Pak Artidjo berusaha menghindari komunikasi dengan advokat. Beliau melakukan itu untuk menjamin independensinya sebagai hakim agung dalam memutus perkara.
Untunglah saya adalah dosen, gumam saya dalam hati. Saya pun menjawab, “Saya mengajar di FH UGM, Pak”.
Mendengar jawaban tersebut, beliau hanya mengangguk pelan. Beliau lalu mempersilakan saya untuk mencari buku yang ada di deretan rak di hadapan kami.
Beliau sendiri memilih pindah mencari buku di rak buku yang jauh. Tidak sulit untuk menilai bahwa beliau tidak ingin melanjutkan pembicaraan.
Bagi saya, ini adalah respons yang janggal. Saya pikir informasi di atas sudah cukup lugas untuk mengirimkan pesan bahwa saya bukan orang yang punya kepentingan terkait dengan penanganan perkara.
Beliau tidak perlu khawatir berkomunikasi dengan saya. Apalagi beliau tampak bergegas menjauh padahal sebelumnya sedang fokus mencari buku di rak buku hukum ini.
Karena merasa tidak nyaman, saya pun akhirnya memilih untuk menjauh. Saya berikan ruang kepada beliau, jikalau beliau ingin kembali ke rak buku tempat kami bertemu tadi, untuk meneruskan buku yang beliau cari.
Saya pun lalu teringat, ini bukan kali pertama saya merasa kikuk dengan beliau. Ketika saya masih mahasiswa, saya menjadi moderator sebuah acara seminar dengan tema penegakan hukum yang diselenggarakan oleh Lembaga Eksekutif Mahasiswa, dan Pak Artidjo adalah salah satu pembicaranya.
Dengan menggunakan previlage sebagai moderator, saya pun menyisipkan pertanyaan kepada beliau, “Bagaimana agar kami, mahasiswa, bisa tetap berintegritas dan berani memperjuangkan kebenaran?”
Saya membayangkan bahwa beliau akan menjelaskan dengan semangat tentang tanggung jawab intelektual dan/atau mengutip teks-teks di kitab suci untuk menyemangati hadirin.
Saya berharap, acara ini bisa menjadi semacam “siraman rohani” bagi para hadirin yang sebagian di antaranya adalah aktivis mahasiswa.
Ucapan dan penjelasan beliau memang dinanti nanti mahasiswa. Beliau dianggap sebagai living legend.
Tak heran, kelas Hukum dan HAM yang beliau ampu setiap hari Sabtu selalu penuh. Padahal Sabtu bukan hari favorit mahasiswa untuk mengambil mata kuliah. Sejak menjadi Hakim Agung, beliau memang hanya mengajar di hari Sabtu.
Di kelas beliau, banyak mahasiswa yang memilih duduk di lantai atau sekadar berdiri di belakang. Hal ini bukan karena kampus gagal mendesain kuota maksimal per kelas. Namun karena ada banyak mahasiswa yang tidak mengambil mata kuliah tersebut, namun memilih untuk ikut hadir dan mendengarkan.
Berkaca dari situasi tersebut, saya merasa wajar jika sebagai moderator menyisipkan pertanyaan prolog seperti di atas.
Namun harapan saya tidak terwujud. Beliau menjawab pertanyaan saya dengan datar, “Kalau tidak berani, ya tidak usah jadi penegak hukum, jualan buah saja sana di pasar.” Saya dan hadirin melongo sambil tertawa getir.
Perjumpaan saya dengan Pak Artidjo memang tidak pernah dekat dan hangat. Saya dengar memang begitulah lazimnya sikap beliau dengan banyak orang.
Tapi saya tetap berusaha belajar dan menggali dari jauh mengenai pribadi beliau. Terhadap kejadian pertama, saya memaknai sikap Pak Artidjo di atas sebagai sikap kehati-hatian dan sikap independensi.
Pada kejadian kedua, saya memaknai beliau sebagai orang yang apa adanya, tidak ingin mencari panggung, dan tidak ingin orang mengapresiasi dirinya atau membuat dirinya sebagai rujukan.
Beliau bahkan juga tidak tertarik dengan penghargaan. Sehingga ketika tahun 2014 almamater dan tempat kerjanya ingin memberikan UII Award, beliau menolaknya.
Tampaknya, Pak Artidjo menilai bahwa apresiasi itu berlebihan, padahal untuk standar masyarakat, tidak ada yang salah dengan hal tersebut.
Saya bersyukur kiprah beliau telah dibukukan. Buku “Negara Tanpa Hukum, Catatan Pengacara Jalanan”, adalah buku impresif yang menceritakan pengalaman beliau untuk menegakkan keadilan ketika menjadi advokat di zaman Orde Baru.
Adapun buku “Alkostar: Sebuah Biografi” memberikan tambahan informasi tentang kiprah beliau menegakkan hukum ketika duduk sebagai hakim MA.
Sebagai pengajar mata kuliah etika profesi, saya merekomendasikan mahasiswa untuk membaca kedua buku di atas. Selain mempelajari biografi yang mengulas para pendekar hukum lainnya seperti Baharudin Loppa, Adi Andojo, Yap Thiam Hien.
Semoga kita bisa belajar dan meneladani kesalehan sosial Artidjo dan para pendekar hukum, sekalipun tidak bertatap muka langsung.
Pak Artidjo baru saja dipanggil Yang Maha Kuasa. Selamat beristirahat, Pak. (Richo Andi Wibowo, Dosen FH Universitas Gadjah Mada)
https://nasional.kompas.com/read/2021/03/04/14081611/meneladani-artidjo-dari-jauh