JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal memastikan, buruh tak menggelar aksi demonstrasi dalam sidang perdana judicial review Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (24/11/2020).
"Untuk sidang perdana kami serikat buruh tidak melakukan aksi," ujar Said dalam konferensi pers virtual, Senin (23/11/2020).
KSPI mejadi salah satu pihak yang mengajukan gugatan uji materi UU Cipta Kerja ke MK.
Said mengatakan, buruh tak menggelar aksi karena proses persidangan baru memasuki tahap pemeriksaan berkas pemohon.
Baca juga: Sidang Perdana Judicial Review UU Cipta Kerja yang Diajukan KSPI dan KSPSI Digelar Besok
Akan tetapi, menurut dia, buruh akan menggelar aksi ketika sudah memasuki sidang berikutnya.
"Karena baru pemeriksaan berkas, sidang kedua aksi-aksi akan dimulai," kata Said.
Adapun sidang pemeriksaan berkas akan dilakukan secara virtual.
Nantinya, hakim MK akan melakukan pemeriksaan terhadap berkas yang diajukan pemohon setebal 1.787 halaman.
Total halaman itu terdiri dari 1.187 halaman UU Cipta Kerja, 69 pasal yang dipermasalahkan di UU Cipta Kerja setebal 300 halaman dan alat bukti sebanyak 300 halaman.
Perkara gugatan ini telah teregistrasi pada 12 November 2020 dengan Nomor Perkara: 101/PUU-XVIII/2020.
Selain KSPI dan KSPSI, gugatan juga dilancarkan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) hingga Federasi Serikat Pekerja farmasi dan Kesehatan Reformasi.
"Para pemohon mengajukan permohonan pengujian materill sebagian ketentuan dalam Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 83 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar 1945," seperti dikutip dari berkas permohonan yang diakses melalui laman www.mkri.id, Jumat (13/11/2020) malam.
Baca juga: KTT G20, Jokowi Sebut UU Cipta Kerja Berikan Perlindungan pada Lingkungan Hidup
Pasal 81 yang dipersoalkan pemohon yakni aturan tentang lembaga pelatihan kerja yang menghapus ketentuan pasal 13 UU Ketenagakerjaan.
Terkait pelaksana penempatan tenaga kerja antara lain mengubah ketentuan Pasal 37 UU Ketenagakerjaan, pada pokoknya telah menghilangkan persyaratan badan hukum bagi lembaga swasta yang menjadi pelaksana penempatan tenaga kerja.
Kemudian, mengenai tenaga kerja asing yang dianggap merugikan hak konstitusional para pemohon atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.