JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, perbaikan kesalahan pengetikan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tak bisa berdasar pada kesepakatan antara pemerintah dengan DPR saja.
Setidaknya, ada 3 mekanisme yang bisa ditempuh, yakni melalui executive review, legislative review, atau judicial review.
Menempuh executive review artinya presiden harus menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang mengoreksi pasal bermasalah.
"Kalau Perppu yang berupaya mengoreksi pasal yang salah itu ya tentu bisa saja, tapi kan untuk sekelas Perppu masa cuma memperbaiki satu pasal, perbaiki juga lah masalah yang lebih besar di UU itu," kata Feri kepada Kompas.com, Rabu (4/11/2020).
Baca juga: FSPS Harap MK Kabulkan Seluruh Permohonan Uji Materi UU Cipta Kerja
Jika legislative review yang ditempuh, maka lembaga legislatif, dalam hal ini DPR, mencabut UU Cipta Kerja atau menerbitkan undang-undang yang membatalkan berlakunya UU tersebut.
Sementara, mekanisme judicial review dilakukan melalui lembaga peradilan yakni Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), ataupun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Menurut Feri, sejumlah kesalahan yang terjadi dalam pembentukan UU Cipta Kerja dapat dijadikan alasan kuat untuk mengajukan gugatan ke PTUN. Oleh PTUN, UU ini berpotensi dinyatakan batal demi hukum lantaran pembentukannya cacat prosedur.
"Kalau kemudian Mensesneg dan DPR melakukan perbaikan dengan kesepakatan tanpa prosedur yang jelas bukan tidak mungkin itu menambah alasan untuk menggugatnya ke Peradilan Tata Usaha Negara atau ke MK," ujarnya.
Baca juga: Pakar Sebut Kesalahan di UU Cipta Kerja Tak Bisa Direvisi dengan Kesepakatan Saja
Feri mengungkap, beberapa tahun lalu MK pernah membatalkan UU Pemda karena kesalahan yang serupa dengan yang ada di UU Cipta Kerja, yakni perihal pengaitan satu pasal dengan yang lain. Putusan serupa, juga bisa terjadi pada UU Cipta Kerja seandainya MK menilai ada pasal dalam UU tersebut yang menimbulkan ketidakjelasan.
Ia mengatakan, sebenarnya terdapat mekanisme perbaikan salah ketik yang hanya berdasar kesepakatan antara pemerintah dan DPR saja tanpa melalui executive, legislative, atau judicial review. Tetapi, mekanisme itu ditempuh hanya jika kesalahan pengetikan terjadi di satu atau dua huruf saja atau typo.
Sementara, kesalahan pengetikan yang terjadi dalam UU Cipta Kerja berupa pengaitan antara satu pasal dengan yang lain.
Oleh karenanya, mekanisme kesepakatan perbaikan itu tidak dapat dilakukan lantaran kesalahan ini bertentangan dengan azas kecermatan dan bisa menimbulkan kesalahan interpretasi.
Baca juga: Walhi: Krisis Kemanusiaan dan Kerusakan Lingkungan Hidup Makin Dalam akibat UU Cipta Kerja
"Kalau salah yang dimaksud seperti typo, masih jelas tujuannya, arahnya seperti apa. Tapi kesalahan seperti yamg dilakukan terhadap Pasal 6 dan 5 (UU Cipta Kerja) itu nggak bisa dipahami oleh publik luas karena akan menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda," ujar Feri.
Feri pun menilai, kesalahan pengetikan yang ada di UU Cipta Kerja sangat serius dan fatal. Oleh karenanya, menurut dia, UU ini semestinya batal demi hukum.
"Sejak awal karena tata caranya berantakan mestinya ada mekanisme yang kemudian menyatakan itu batal demi hukum," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan telah meminta Sekretariat Jenderal DPR untuk menyapakti perbaikan Undang-undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Hal itu disampaikan Pratikno menanggapi kesalahan pengetikan di dalam UU Cipta Kerja.
"Kementerian Sekretariat Negara juga telah menyampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR untuk disepakati perbaikannya," kata Pratikno dalam keterangan tertulis, Selasa (3/11/2020).
Baca juga: Soal Salah Ketik di UU Cipta Kerja, Setneg Sebut Itu Pelajaran Berharga
Pratikno pun menilai kesalahan perumusan dalam UU Cipta Kerja hanya sebatas permasalahan administrasi. Ia memastikan kesalahan itu tidak memengaruhi implementasi UU Cipta Kerja.
Adapun berdasarkan penelusuran Kompas.com, Selasa (3/11/2020), ditemukan kesalahan ketik yang cukup fatal pada Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha.
Pasal 6 menyebutkan, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi (a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; (c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan (d) penyederhanaan persyaratan investasi.
Namun, rujukan ke Pasal 5 ayat (1) tidak jelas karena dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat.
Namun, rujukan ke Pasal 5 ayat (1) tidak jelas karena dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat.
Pasal 5 hanya berbunyi, ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.
Baca juga: Poin Pasal 81 UU Cipta Kerja Digugat ke MK, Ini Alasan Serikat Pekerja Singaperbangsa
Kemudian, ada pula kesalahan ketik dalam Pasal 175 di Bab Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja.
Pasal 175 angka 6 mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014. Pasal 53 itu terdiri atas 5 ayat yang mengatur soal syarat sah keputusan pemerintahan.
Ayat (1) berbunyi, batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ayat (2), jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Ayat (3), dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan keputusan dan/atau tindakan sebagai keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang berwenang.
Ayat (4), apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.
Ayat (5), ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.
Semestinya, ketentuan dalam ayat (5) merujuk pada ayat (4). Bukan pada ayat (3) sebagaimana yang ditulis dalam UU Cipta Kerja.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.