JAKARTA, KOMPAS.com - Manajer Kajian Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( Walhi), Boy Even Sembiring, mengatakan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 makin memperdalam kondisi krisis kemanusiaan akibat kerusakan lingkungan hidup.
Menurut Boy, hal ini tercermin dari pengubahan dan penghapusan sejumlah pasal terhadap UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
"(UU Cipta Kerja) bukan kebijakan permanen untuk memulihkan, tapi memperdalam krisis kemanusiaan dengan membiarkan laju kerusakan lingkungan hidup terus berlangsung. Bahkan lebih parah dari kondisi sebelum (Presiden Jokowi) memimpin," kata Boy saat dihubungi, Rabu (4/11/2020).
Baca juga: Poin Pasal 81 UU Cipta Kerja Digugat ke MK, Ini Alasan Serikat Pekerja Singaperbangsa
Ia menyoroti soal penggunaan frasa "persetujuan lingkungan" dalam UU Cipta Kerja. Sementara itu, dalam UU PPLH menggunakan frasa "perizinan".
Boy berpendapat, penggunaan frasa "persetujuan lingkungan" berarti keputusan kelayakan lingkungan hanya sekadar jadi prosedur penerbitan izin usaha.
"Posisinya tidak lagi menjadi keputusan tata usaha negara. Konsekuensinya, dibatasinya ruang rakyat untuk menguji layak atau tidak layaknya suatu izin berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan atau sesuai ketepatan prosedur," jelasnya.
Selanjutnya, Boy menyoal beberapa pengubahan rumusan pasal di UU PPLH. Di antaranya, yaitu Pasal 25 dan 26.
Dua pasal tersebut mengatur soal dokumen analisis dampak lingkungan (amdal).
Melalui Pasal 22 angka 4, UU Cipta Kerja mengubah Pasal 25 UU PPLH dengan membatasi masyarakat terdampak langsung yang terlibat dalam pembuatan dokumen amdal.
Sebelumnya, Pasal 25 mempersilakan masyarakat secara umum memberikan tanggapan dan masukan terhadap rencana usaha/kegiatan.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan