Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mundurnya Febri Diansyah dan Empat Persoalan Terkait Independensi KPK...

Kompas.com - 25/09/2020, 16:32 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah memutuskan untuk mundur dari jabatannya sekaligus dari statusnya sebagai pegawai KPK.

Ia mengungkapkan, sejak Undang-Undang KPK yang baru disahkan, komisi antirasuah ini telah mengalami perubahan yang cukup signifikan.

"Kondisi KPK memang sudah berubah baik dari segi regulasinya dan kita tahu kurang lebih sudah satu tahun UU KPK disahkan tapi kami tidak langsung meninggalkan KPK saat itu dan berupaya berbuat sesuatu," kata Febri seperti dilansir dari Kompas.TV.

Baca juga: Febri Diansyah Mundur dari KPK

Di dalam surat pengunduran dirinya, Febri menegaskan, pentingnya langkah yang lebih serius di dalam upaya pemberantasan korupsi.

KPK seharusnya dapat menjadi contoh sekaligus harapan bagi banyak pihak dalam mewujudkan Indonesia yang bersih dari korupsi. Karena itu, ia menyatakan, independensi KPK adalah sebuah keniscayaan.

"Namun kondisi politik dan hukum telah berubah bagi KPK," tulis Febri seperti dilansir dari Antara.

Persoalan independensi KPK memang cukup mendapatkan sorotan dari publik. Banyak pihak yang beranggapan bahwa pengesahan UU baru merupakan upaya pelemahan KPK.

Baca juga: Mundur dari KPK, Febri Diansyah Sebut KPK Telah Berubah

Kompas.com mencatat, setidaknya ada empat hal yang cukup mendapatkan perhatian publik di dalam upaya pelemahan terhadap KPK.

1. Pemberhentian Kompol Rosa

Kompol Rosa Purbo Bekti merupakan penyidik KPK yang berasal dari kepolisian.

Ia diketahui merupakan salah satu penyidik yang ikut diperbantukan dalam kasus dugaan suap yang menyeret nama politikus PDI Perjuangan, Harun Masiku dan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Rencana pengembalian Kompol Rosa ke kesatuannya menguat di tengah upaya penyelidikan yang sedang dilakukan oleh KPK.

Baca juga: Kejanggalan di Balik Pengembalian Penyidik KPK ke Polri...

Wadah Pegawai KPK dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, langkah pengembalian Kompol Rosa merupakan sebuah bentuk pelemahan tersebut.

"Pengembalian Kompol Rosa oleh pimpinan KPK merupakan bentuk tindakan yang jelas-jelas berseberangan dengan upaya menuntaskan skandal PAW tersebut," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, pada 30 Januari lalu.

Belakangan, rencana pengembalian itu batal dilaksanakan setelah Polri melayangkan surat kepada KPK. Polri beralasan masa tugas Kompol Rosa di KPK masih panjang.

Baca juga: Pamitnya Febri Diansyah dan Ungkapan Independensi KPK yang Mulai Melorot

Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (26/12/2019).KOMPAS.com/TSARINA MAHARANI Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (26/12/2019).

2. Polisi di tubuh KPK

ICW pada April lalu menyoroti banyaknya jabatan strategis di sektor penindakan yang dipegang oleh polisi.

Misalnya, Deputi Penindakan yang diisi oleh mantan Wakapolda DI Yogyakarta, Irjen Karyoto. Kemudian, Direktur Penyelidikan KPK yang dijabat oleh Brigjen Pol Endar Priantoro dan Kombes Panca Putra yang menjabat sebagai Direktur Penyidikan.

Tiga nama itu belum termasuk Firli Bahuri yang menjabat sebagai Ketua KPK. Firli sendiri diketahui merupakan seorang jenderal bintang tiga.

"Hal ini dikhawatirkan dapat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan pada saat ada kasus dugaan korupsi yang melibatkan dari institusi Polri," kata Kurnia dalam siaran pers, pada 14 April lalu.

Baca juga: Dominasi Polisi di Sektor Penindakan KPK Jadi Sorotan

Namun, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri memastikan bahwa KPK tetap bekerja independen meski banyak posisi strategis di sektor penindakan yang didominasi oleh polisi.

"KPK sebagai salah satu lembaga penegak hukum, dalam penanganan setiap kasus dipastikan akan tetap bekerja sesuai dengan koridor hukum yang berlaku," kata Ali kepada wartawan, pada 21 April lalu.

3. Rencana perubahan status pegawai

Independensi KPK sebagai lembaga antikorupsi kembali diuji setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Status Kepegawaian KPK menjadi Aparatur Sipil Negara.

Menurut Kurnia, dengan masuknya KPK ke dalam rumpun eksekutif, muncul kekhawatiran independensi lembaga tersebut akan terkikis.

"Jadi kita akan sulit ke depan menilai KPK akan objektif dengan adanya Undang-undang 19 tahun 2019 utamanya terkait dengan alih status pegawai KPK," kata Kurnia pada 10 Agustus lalu.

Baca juga: Alih Status Pegawai dan Kekhawatiran Terkikisnya Independensi KPK

Hal yang sama disampaikan oleh penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Menurut dia, independensi pegawai KPK sangat dibutuhkan agar pemberantasan korupsi berjalan optimal.

Menurut dia, terbitnya PP 41/2020 merupakan strategi pemerintah untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

"Itu (alih status pegawai) adalah tahap akhir pelemahan KPK, kali ini masalah indepedensi pegawainya. Terlihat dengan jelas Presiden Jokowi berkontribusi langsung terhadap pelemahan dimaksud," kata Novel, dikutip dari Tribunnews.com, pada 9 Agustus 2020.

Baca juga: Mundur dari KPK, Febri Diansyah Ingin Buka Kantor Hukum

logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK.KOMPAS.com/DYLAN APRIALDO RACHMAN logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK.

4. Rapor merah KPK

Penilaian ini disampaikan oleh ICW dan Transparency International Indonesia (TII) setelah melihat kinerja KPK usai UU KPK hasil revisi disahkan.

Pada semester pertama 2020, ICW mencatat, hanya ada dua operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK. Jumlah itu turun drastis bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Berdasarkan catatan ICW, pada enam bulan pertama tahun 2016, KPK menggelar delapan tangkap tangan, pada 2017 ada lima tangkap tangan, pada 2018 ada 13 tangkap tangan, dan tujuh tangkap tangan pada 2019.

"Itu pun dua banyak permasalahan. Praktis yang mungkin tidak ada permasalahan yang kasus Sidoarjo," ujar Kurnia.

Baca juga: Rapor Merah bagi Firli Bahuri dkk...

Selain soal tangkap tangan, ICW juga menyoroti bertambahnya jumlah buronan dan penindakan yang tidak menyentuh perkara-perkara besar.

Peneliti TII Alvin Nicola menilai, fungsi pencegahan yang dilakukan KPK juga belum berjalan optimal bila melihat minimnya kepatuhan atas rekomendasi yang dikeluarkan KPK.

"Misalnya rekomendasi terkait kenaikan BPJS, Pendataan Jaring Pengaman Sosial, Penanganan Pandemi Covid, Pelaksanaan Kartu Prakerja misalnya, itu belum semua dijalankan," kata Alvin.

Baca juga: Pukat UGM Sebut Revisi UU KPK Terbukti Melumpuhkan KPK

Menurut dia, rapor merah di sektor pencegahan tersebut tidak lepas dari lemahnya kewenangan KPK dalam hal penindakan.

Sementara itu, kebijakan internal KPK dinilai sering kali hanya didasari pada penilaian subyektivitas semata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Nasional
Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Nasional
Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Nasional
Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com