JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai posisi Badan Intelijen Negara (BIN) yang kini berada di bawah presiden bukan hal yang luar biasa.
Menurut dia, keberadaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 73 Tahun 2020 tentang Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) yang menyebut BIN tidak lagi berada di bawah Kemenko Polhukam hanya sebagai penegasan kinerja intelijen.
"Perpres itu juga semacam penegasan atas kerja intelijen negara yang menjadi tanggungjawab BIN," kata Fahmi kepada Kompas.com, Senin (20/7/2020).
Baca juga: BIN di Bawah Presiden, Ketua Komisi I Nilai Senapas dengan UU Intelijen
"Lembaga ini sepenuhnya merujuk pada UU Intelijen di mana Presiden adalah single client BIN, dan BIN direct access ke Presiden terkait pelaksanaan tugas dan pelaporannya," ujar dia.
Menurut Fahmi, penegasan itu penting karena mekanisme koordinasi di Kemenko Polhukam terkesan mengurangi hak presiden dalam mendapat informasi.
Informasi yang dimiliki BIN terlebih dahulu diketahui pihak lain dan terakhir baru sampai ke presiden.
"Nah dengan Perpres itu, secara normatif setiap informasi akan bisa dijamin dapat diakses lebih dulu oleh presiden barulah didistribusikan ke kementerian/lembaga lain sesuai urgensi dan kebutuhan presiden," imbuhnya.
Fahmi juga menjelaskan, Perpres tersebut memang menghapus BIN dari daftar kementerian yang harus berkoordinasi di bawah Kemenko Polhukam.
Baca juga: BIN Gandeng Pemkot Jakut Gelar Rapid dan Swab Test Massal di Tanjung Priok
Namun, lanjutnya, di Pasal 4 huruf J tertera bahwa Kemenko Polhukam bisa berkoordinasi yang dianggap perlu.
"Saya kira itu sangat lentur. Jika diperlukan, koordinasi Kemenko Polhukam dengan BIN tetap dapat berlangsung dengan mengacu pada pasal itu," ucap Fahmi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.