Apapun mekanisme yang diambil, ini tetap akan memberikan beban kepada anggaran, walaupun dengan derajat yang berbeda.
Bandara Kertajati misalnya. Sudah menghabiskan biaya besar, berkonflik dengan petani ketika melakukan pembebasan lahan, namun hanya berujung pada bandara yang megah yang sepi.
LRT di Palembang adalah contoh yang lain. Ini terkesan dibangun hanya untuk memberikan impresi bahwa Indonesia memiliki sarana transportasi modern untuk para atlit dan ofisial Asian Games. Setelah perhelatan ini selesai, kompartemen LRT berkapasitas 125 orang hanya terisi lusinan pengguna saja.
Maka, relevan untuk menerima dan meresapi kritik bahwa penentuan pembangunan infrastruktur di Indonesia terkadang lebih dipandu oleh kepentingan politik dan bukan oleh pertimbangan ilmiah (World Bank, 2018).
Bahkan, pengamatan personal penulis ketika berkomunikasi dengan beberapa pejabat daerah, terkesan bahwa mereka ingin melakukan KPBU hanya sekedar karena mekanisme ini sedang happening.
Situasi diperumit karena sebagian bawahan mengambil sikap “Asal Bapak Senang”. Sehingga mereka sekadar mengamankan arahan pimpinan yang tidak berbasis kajian.
Misalnya, buru buru mengamankan kebijakan agar pembangunan dibangun dengan KPS dan mengesampingkan opsi pengadaan barang/jasa.
Telah ditemukan pula kasus hukum yang mengindikasikan dugaan di atas, yakni Putusan No 2351K/Pdt/2015. Skema KPS dalam kasus ini adalah Pengelolaan Benda Milik Negara/Daerah.
Inti kasus ini adalah terdapat pemda ingin menyediakan infrastruktur, lalu bekerjasama dengan pihak swasta. Setelah proses tender yang menghasilkan badan usaha terpilih, pemda tersebut berubah pikiran dan memilih untuk membangun dengan APBD.
Akibatnya, keputusan untuk balik badan tersebut berakibat pada sengketa hukum. Penulis dkk menilai bahwa insiden ini menguatkan dugaan bahwa keputusan sebelumnya memang diambil tidak dengan asas kehati-hatian dan kajian ilmiah (Wibowo, Putri, Azzuhri, 2019).
Catatan kritis yang ketiga adalah memastikan hukum beserta penegak hukum familiar dengan konsep KPS, dan bisa mencari solusi yang adil ketika terjadi sengketa.
Berkaca pada Putusan No 1765K/Pdt/2016, terdapat pemda yang bekerja sama dengan swasta untuk membangun infrastruktur. Pemda menyediakan tanah, swasta yang membangun, lalu swasta tersebut berhak mengelola bangunan tersebut untuk sekian waktu.
Awalnya pemda berhasil menyediakan sebagian tanah yang diperjanjikan. Namun belakangan, pemda tidak bisa menyediakan sisa tanah. Sehingga konstruksi tidak bisa dilanjutkan.
Ketika para pihak bersengketa, lembaga pengadil tidak memberikan kompensasi kepada swasta atas konstruksi yang telah terbangun. Padahal kegagalan pekerjaan bukan kesalahan swasta, tapi karena kegagalan pemda.
Perlu penelitian lanjutan mengenai seberapa intensif putusan serupa terjadi di lapangan. Jika terjadi masif, dikhawatirkan kejadian ini akan membuat swasta khawatir bermitra dengan pemerintah.
Pandemi yang terjadi saat ini perlu menjadi momentum bagi pemangku kepentingan untuk melakukan refleksi dengan memastikan agar tiga catatan kritis diatas diperhatikan dan dicarikan solusinya. (Richo Andi Wibowo | Dosen FH UGM dengan minat riset Kontrak Pemerintah dan Pencegahan Patologi Birokrasi | Anggota UNIID)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.