Dalam konteks ini, yang perlu dipastikan adalah kecermatan menentukan risiko. Sebab, ini terkait jaminan lingkungan hidup dan keberlanjutan masa depan. Jika demi investasi, dimensi ekologi dikesampingkan, bukan mustahil bangsa ini akan punah.
Belum lagi soal kontroversi Peraturan Pemerintah (PP) yang bisa menggeser Undang-Undang (UU) (Pasal 170) yang mengundang polemik antar Menteri baik Menko Perekonomian maupun Menko Polhukam dan Menhukam. Polemik antar-menteri harusnya tabu dalam kebijakan yang sudah disampaikan ke publik.
Apalagi dari segi hukum sudah terang benderang, Indonesia menganut hierarki hukum sebagaimana dianut UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga sesuatu yang harusnya mustahil: PP mengalahkan UU.
Kini publik berharap cemas. Bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyikapi karut marut RUU Omnibus Law.
Publik menghendaki, DPR sebagai wakil rakyat yang otentik, (bukan kaleng-kaleng), harus dapat meningkatkan optimalisasi partisipasi publik. Sebab, dengan partisipasi publik, derajat legitimasi undang-undang dapat dijamin.
Ada buku lama dari Arief Budiman berjudul Teori Negara (Gramedia, 1996) yang dapat menjadi sinyal untuk mengukur apakah demokrasi redup atau tidak.
Menurut Arief, perlu dikritisi doktrin netralitas negara. Sebab, menurut teori dari Ralph Milliband, jika tidak hati-hati, negara menjadi sekadar alat melayani kelas dominan, bukan kepentingan publik. Kelas dominan bekerja mempengaruhi melalui hubungan pribadi antara kelas dominan dengan pejabat negara (hlm.70). Ini pasti harus dihindari.
Dalam konteks demikian, maka layak diperdebatkan soal tudingan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia yang menyatakan RUU Omnibus Cipta Kerja tidak melibatkan buruh. Hanya pengusaha. Baca juga: Buruh: Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Lebih Berpihak pada Pengusaha
DPR harus menjaga agar keseimbangan para pihak terawat. Kalau perlu, DPR mengoreksi apakah pemerintah dinilai atau diduga tidak fair pada semua pihak.
Pada DPR digantungkan amanah besar untuk memastikan prinsip negara hukum, demokrasi dan otonomi daerah tidak dicabut nyawanya.
Sebab, ini perjuangan luar biasa. Publik harus mengawal agar DPR bisa istiqamah menjalani takdir untuk “pasang badan” pada pemilihnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.