Hingga 30 Juni lalu, BPJS Watch mencatat, masih ada Rp 3,4 triliun iuran yang belum dibayar.
Kontribusi utang terbesar berasal dari peserta mandiri kelas 2 dan 3 sebesar Rp 2,4 triliun, perusahaan swasta Rp 600 miliar, dan pemerintah daerah yang tidak membayar jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) sebesar Rp 400 miliar.
Baca juga: Persoalan Defisit Anggaran di Balik Lonjakan Peserta BPJS Kesehatan
Soal ketidakpatuhan ini juga diamini Direktur The SMERU Research Institute Widjajanti Isdijoso.
Di tengah peningkatan keikutsertaan masyarakat terhadap BPJS Kesehatan, hal itu tidak diikuti dengan peningkatan kepatuhan dalam pembayaran premi.
The SMERU Research Institute mencatat, saat ini sudah lebih dari 200 juta penduduk Indonesia yang terdaftar di dalam program kepesertaan BPJS Kesehatan. Bila dipresentasekan, jumlahnya mencapai 83 persen dari total penduduk.
"Peserta kelas atas masih sangat rendah. Kami telah melihat susbsidi bantuan selama 1 tahun dan bantuan secara online, tapi hal tersebut masih belum cukup membantu. Kepatuhan membayar mungkin masih menjadi tugas kami," kata Widjajanti dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, pada 21 November lalu.
Banyak daerah tak patuh
Selain dari iuran peserta, sumber penerimaan BPJS Kesehatan berasal dari iuran yang disetorkan pemerintah daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah pusat wajib mengalokasikan 5 persen dana APBN untuk kesehatan, sedangkan pemerintah daerah sebesar 10 persen di dalam APBD.
Sejauh ini, pemerintah pusat telah konsisten mengalokasikan 5 persen APBN untuk sektor ini. Namun demikian hal itu tidak terjadi pada pemerintah daerah.
Bahkan, masih ada pemda yang justru mengelola sendiri program jaminan kesehatannya, seperti Pemkot Bekasi.
Persoalan berikutnya yani rendahnya realisasi pendapatan dari cukai rokok yang harus disetorkan pemda ke BPJS Kesehatan.
Baca juga: 4 Hal Ini Disinyalir Jadi Biang Keladi Defisit BPJS Kesehatan
Bila mengacu pada Pasal 99 dan 100 Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, besaran pajak yang harus disetorkan yakni 75 persen dari 50 persen realisasi penerimaan pajak rokok yang menjadi bagian hak dari masing-masing pemda baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
“Kalau saya hitung, itu bisa sekitar Rp 5 triliun sampai Rp 6 triliun, tetapi faktanya, pada 2018 hanya Rp 1,4 triliun yang didapat. Artinya, banyak juga pemda yang tidak patuh,” ujar dia.
Sengkarut data
Di lain pihak, anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo berharap, pemerintah memperbaiki sengkarut data kepesertaan BPJS Kesehatan.
Ia khawatir, kenaikan premi ini justru tidak akan mengatasi persoalan defisit yang terjadi, tetapi justru membuat negara semakin rugi karena harus menanggung masyarakat yang mampu.
“Ini tugas pemerintah untuk membereskan data kepesertaan, dengan menyisir ulang kepesertaan itu,” kata Rahmad dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com pada 4 November lalu.
Hal senada disampaikan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
Cleansing data golongan Penerimaan Bantuan Iuran (PBI) harus dilakukan agar pemeirntah tidak salah sasaran dalam memberikan bantuan kepada masyarakat.
Baca juga: Jokowi Sebut Menkes Sudah Punya Jurus Atasi Defisit BPJS Kesehatan
“Di lapangan, banyak anggota PBI yang diikutkan karena dekat dengan pengurus RT/RTW setempat. Jika cleansing data dilakukan secara efektif, maka peserta golongan mandiri Kelas 3 langsung bisa dimasukkan menjadi peserta PBI. Dari sisi status sosial ekonomi golongan mandiri Kelas III sangat rentan terhadap kebijakan kenaikan iuran,” kata Tulus melalui keterangan tertulis pada 30 Oktober lalu.
Di lain pihak, BPJS Kesehatan mengklaim telah membersihkan data PBI. Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), ada 27 juta data yang telah di-cleansing.
“Semua sudah selesai, jadi BPKP menemukan 27 juta data, kami cleansing semua,”kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris di Malang, Jawa Timur, pada 8 November lalu.
Ragam kekhawatiran
Sejatinya, kenaikan sebuah iuran dibarengi dengan peningkatan pelayanan kepada mereka yang membayarnya.
Hal itu pula yang ditekankan Wakil Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh.
Menurut dia, selama ini masyarakat kerap mengeluhkan pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada pasien BPJS Kesehatan.
"Jangan sampai kenaikan BPJS ini hanya sekadar naik secara jumlah iurannya, tapi pelayanannya tidak berubah," kata Nihayatul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 30 Oktober lalu.
Politisi PKB ini mengaku tak sepakat dengankenaikan ini. Sebab, ia khawatir ini hanya menjadi dalih pemerintah untuk menutupi defisit anggaran BPJS Kesehatan.
"Kita tidak mau kalau hanya naik untuk menutupi kekurangan, tapi tidak ada kenaikan dalam hal pelayanan," ucap dia.
Di lain pihak, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi menduga, kenaikan ini tak lebih dari sekadar 'gali lubang, tutup lubang'. Artinya, risiko terjadinya defisit anggaran masih sangat mungkin terjadi kembali pada kemudian hari.