Salin Artikel

KALEIDOSKOP 2019: Defisit BPJS, Kenaikan Iuran, dan Faktor Politis...

JAKARTA, KOMPAS.com – Mulai 1 Januari 2020, iuran BPJS Kesehatan yang harus dibayar peserta jaminan kesehatan naik. Besarnya kenaikan iuran beragam, tergantung jenis kelas yang dipilih.

Salah satu faktor kenaikan iuran ini yakni defisit keuangan yang dialami lembaga tersebut. Bahkan , BPJS Kesehatan dibentuk pada 2014, lembaga ini tidak pernah mengalami surplus keuangan.

Awalnya, BPJS mengalami defisit hingga Rp 3,3 triliun. Kemudian, defisit bertambah menjadi Rp 5,7 triliun pada 2015. Selanjutnya pada 2016 defisit kembali naik menjadi Rp 9,7 triliun.

Adapun pada 2017, defisit tercatat naik tipis yakni menjadi Rp 9,75 triliun. Sementara itu, pada tahun lalu, defisit turun menjadi Rp 9,1 triliun. Tahun ini, defisit diperkirakan kembali mengalami lonjakan hingga Rp 32,8 triliun.

Untuk mengatasi persoalan itu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani pada 24 Oktober 2019.

Dalam Pasal 34 beleid tersebut diatur bahwa kenaikan iuran terjadi terhadap seluruh segmen peserta mandiri kategori pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP).

Adapun besaran iuran yang harus dibayarkan yaitu Rp 160.000 untuk kelas 1 dari sebelumnya Rp 80.000, sedangkan pemegang premi kelas 2 harus membayar Rp 110.000 dari sebelumnya Rp 51.000.

Sementara itu, kelas 3 sedikit lebih beruntung karena kenaikan yang dialami lebih kecil, yakni dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.

Belakangan untuk kelas ini, pemerintah memutuskan untuk memberikan subsidi sehingga iuran kembali seperti sebelum naik yakni Rp 25.500.

Faktor defisit

Salah satu faktor penyebab tingginya angka defisit tersebut diperkirakan lantaran tingginya tagihan yang dilayangkan rumah sakit kepada pemerintah.

Mahfum dipahami bila hal itu terjadi. Sebab, hampir semua jenis penyakit dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Kondisi itu berbeda bila dibandingkan dengan produk jaminan kesehatan serupa yang dikeluarkan pemerintah negara lain bagi masyarakatnya.

Di banyak negara, hanya jenis penyakit tertentu yang akan dibiayai pengobatannya oleh negara.

Sebagai gambaran, untuk penyakit jantung saja, tagihan yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan mencapai Rp 10,5 triliun.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menduga, ada pelayanan berlebihan yang diberikan dokter sehingga membuat tagihan membengkak.

Ia pun meminta agar pelayanan yang diberikan dokter dibenahi tanpa mengabaikan diagnosis maksimum dan mengurangi kualitas pelayanan kepada masyarakat.

“Itu bisa menurunkan mungkin 50 persen, bayangin, banyak lho Rp 10 triliun itu. Kalau bisa turun separuh saja itu sudah membuat kita berdua bahagia, Rp 5 triliun dihemat,” kata Terawan di Kantor Presiden seperti dilansir dari laman Setkab.go.id, pada 22 November lalu.

Sejak SBY

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, penanganan medis yang dilakukan dokter tak hanya menjadi satu-satunya persoalan yang membuat defisit BPJS Kesehatan terus terjadi.

Ada faktor politis yang turut mengakibatkan defisit terus terjadi.

Ia mengatakan, iuran yang dibayar peserta merupakan sumber penerimaan utama BPJS Kesehatan.

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada tahun 2014 saat itu telah menghitung iuran yang harus dibayarkan peserta sebesar Rp 27.000.

Namun, saat itu, Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Keuangan Agus Martowardojo menetapkan iuran sebesar Rp 19.225.

“Artinya terjadi gap. Iuran ini tidak cocok untuk mengoperasikan JKN ini. Ini soal politik anggaran,” kata Timboel dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada 1 Desember lalu.

Persoalan serupa terjadi pada 2016. Saat itu DJSN menetapkan iuran yang harus dibayarkan sebesar Rp 36.000.

Namun, Presiden Joko Widodo melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani memutuskan iuran sebesar Rp 23.000.

Timboel meyakini, pemerintah tahu bahwa potensi defisit anggaran akan terus terjadi lantaran besaran penerimaan yang diharapkan tidak sesuai dengan ekspektasi yang ditargetkan DJSN.

Sementara di sisi lain, setiap tahun terjadi peningkatan pengeluaran yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan.

“Di dalam RKAT, pendapatan untuk 2019 sekitar Rp 88,8 triliun, sedangkan pembiayaannya sekitar Rp 102,02 triliun. Dengan carry over 2018 ke 2019, defisit Rp 9,15 triliun, maka dari sisi penganggaran saja BPJS sudah mengatakan kami defisit,” kata dia.

Namun, persoalan iuran tak berhenti di sana. Tidak sedikit dari peserta penerima jaminan kesehatan yang menunggak pembayaran.

Hingga 30 Juni lalu, BPJS Watch mencatat, masih ada Rp 3,4 triliun iuran yang belum dibayar.

Kontribusi utang terbesar berasal dari peserta mandiri kelas 2 dan 3 sebesar Rp 2,4 triliun, perusahaan swasta Rp 600 miliar, dan pemerintah daerah yang tidak membayar jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) sebesar Rp 400 miliar.

Soal ketidakpatuhan ini juga diamini Direktur The SMERU Research Institute Widjajanti Isdijoso.

Di tengah peningkatan keikutsertaan masyarakat terhadap BPJS Kesehatan, hal itu tidak diikuti dengan peningkatan kepatuhan dalam pembayaran premi.

The SMERU Research Institute mencatat, saat ini sudah lebih dari 200 juta penduduk Indonesia yang terdaftar di dalam program kepesertaan BPJS Kesehatan. Bila dipresentasekan, jumlahnya mencapai 83 persen dari total penduduk.

"Peserta kelas atas masih sangat rendah. Kami telah melihat susbsidi bantuan selama 1 tahun dan bantuan secara online, tapi hal tersebut masih belum cukup membantu. Kepatuhan membayar mungkin masih menjadi tugas kami," kata Widjajanti dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, pada 21 November lalu.

Banyak daerah tak patuh

Selain dari iuran peserta, sumber penerimaan BPJS Kesehatan berasal dari iuran yang disetorkan pemerintah daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah pusat wajib mengalokasikan 5 persen dana APBN untuk kesehatan, sedangkan pemerintah daerah sebesar 10 persen di dalam APBD.

Sejauh ini, pemerintah pusat telah konsisten mengalokasikan 5 persen APBN untuk sektor ini. Namun demikian hal itu tidak terjadi pada pemerintah daerah.

Bahkan, masih ada pemda yang justru mengelola sendiri program jaminan kesehatannya, seperti Pemkot Bekasi.

Persoalan berikutnya yani rendahnya realisasi pendapatan dari cukai rokok yang harus disetorkan pemda ke BPJS Kesehatan.

Bila mengacu pada Pasal 99 dan 100 Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, besaran pajak yang harus disetorkan yakni 75 persen dari 50 persen realisasi penerimaan pajak rokok yang menjadi bagian hak dari masing-masing pemda baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

“Kalau saya hitung, itu bisa sekitar Rp 5 triliun sampai Rp 6 triliun, tetapi faktanya, pada 2018 hanya Rp 1,4 triliun yang didapat. Artinya, banyak juga pemda yang tidak patuh,” ujar dia.

Sengkarut data

Di lain pihak, anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo berharap, pemerintah memperbaiki sengkarut data kepesertaan BPJS Kesehatan.

Ia khawatir, kenaikan premi ini justru tidak akan mengatasi persoalan defisit yang terjadi, tetapi justru membuat negara semakin rugi karena harus menanggung masyarakat yang mampu.

“Ini tugas pemerintah untuk membereskan data kepesertaan, dengan menyisir ulang kepesertaan itu,” kata Rahmad dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com pada 4 November lalu.

Hal senada disampaikan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.

Cleansing data golongan Penerimaan Bantuan Iuran (PBI) harus dilakukan agar pemeirntah tidak salah sasaran dalam memberikan bantuan kepada masyarakat.

“Di lapangan, banyak anggota PBI yang diikutkan karena dekat dengan pengurus RT/RTW setempat. Jika cleansing data dilakukan secara efektif, maka peserta golongan mandiri Kelas 3 langsung bisa dimasukkan menjadi peserta PBI. Dari sisi status sosial ekonomi golongan mandiri Kelas III sangat rentan terhadap kebijakan kenaikan iuran,” kata Tulus melalui keterangan tertulis pada 30 Oktober lalu.

Di lain pihak, BPJS Kesehatan mengklaim telah membersihkan data PBI. Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), ada 27 juta data yang telah di-cleansing.

“Semua sudah selesai, jadi BPKP menemukan 27 juta data, kami cleansing semua,”kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris di Malang, Jawa Timur, pada 8 November lalu.

Ragam kekhawatiran

Sejatinya, kenaikan sebuah iuran dibarengi dengan peningkatan pelayanan kepada mereka yang membayarnya.

Hal itu pula yang ditekankan Wakil Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh.

Menurut dia, selama ini masyarakat kerap mengeluhkan pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada pasien BPJS Kesehatan.

"Jangan sampai kenaikan BPJS ini hanya sekadar naik secara jumlah iurannya, tapi pelayanannya tidak berubah," kata Nihayatul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 30 Oktober lalu.

Politisi PKB ini mengaku tak sepakat dengankenaikan ini. Sebab, ia khawatir ini hanya menjadi dalih pemerintah untuk menutupi defisit anggaran BPJS Kesehatan.

"Kita tidak mau kalau hanya naik untuk menutupi kekurangan, tapi tidak ada kenaikan dalam hal pelayanan," ucap dia.

Di lain pihak, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi menduga, kenaikan ini tak lebih dari sekadar 'gali lubang, tutup lubang'. Artinya, risiko terjadinya defisit anggaran masih sangat mungkin terjadi kembali pada kemudian hari.

"Yang kita takutkan iurannya akan menutup defisit saja, tapi memang perlu negara langsung mengatasi terkait masalah defisit ini," kata Adib dalam sebuah diskusi di Jakarta, pada 2 November lalu.

Ia juga ragu bahwa kenaikan ini akan diikuti dengan peningkatan pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit.

Sebab, keputusan pemerintah menaikkan iuran ini tak lebih didasarkan pada persoalan menutupi defisit semata.

"Saya masih belum bisa mengatakan bahwa kenaikan iuran akan berdampak pada kualitas pelayanan baik karena konsepnya hanya berbicara konsep mengatasi defisit saja," ujar dia.

Meski demikian, ia sepakat bahwa persoalan defisit ini harus segera ditangani. Apalagi, banyak tenaga medis yang belum menerima bayaran akibat tunggakan pembayaran premi.

Keterlambatan itu pulalah yang pada akhirnya turut menjadi faktor kurang maksimalnya pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien yang membutuhkan.

"Problem di dalam kesehatan sekarang dalam sistem pelayanan kondisinya adalah emergency in health care, indanger in health care," ucap dia.

Sementara itu, Tulus menilai, kenaikan ini justru akan membuat banyak masyarakat yang tidak mampu membayar premi baru, turun kelas.

Selain itu, fenomena lainnya yakni tunggakan pembayaran terutama dari golongan mandiri akan semakin membesar.

“Jika kedua fenomena itu menguat, maka bisa menggerogoti finansial BPJS Kesehatan secara keseluruhan. Ujarnya.

Di lain pihak, anggota Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Perssi) Hermawan Saputra mengkhawatirkan, masifnya migrasi kelas para peserta jaminan kesehatan ini dikhawatirkan menyebabkan rumah sakit semakin kewalahan dalam menangani pasien, sehingga memunculkan persoalan lain.

Sebab, para peserta BPJS Kesehatan diduga akan memilih turun ke kelas 3 yang sebetulnya sudah penuh diisi oleh peserta BPJS Kesehatan yang bertatus penerima bantuan iuran.

Padahal, sudah sering ditemui pula kasus-kasus di mana rumah sakit terpaksa menolak pasien lantaran daya tampung sudah penuh.

Bergeming

Kendati penolakan rencana kenaikan iuran ini terus muncul, pemerintah justru bergeming untuk terus merealisasikan kebijakan yang telah diteken.

Jokowi menyatakan, saat ini tak kurang dari 222 juta masyarakat yang menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Dari jumlah tersebut, 96,8 juta merupakan masyarakat tidak mampu yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah.

Hingga 2018, pemerintah telah mengeluarkan dana kurang lebih Rp 115 triliun, belum lagi iuran yang disubsidi oleh Pemerintah Daerah sebanyak 37 juta, dan TNI-Polri 17 juta.

“Artinya yang sudah disubsidi oleh pemerintah itu sekitar 150 juta jiwa. Ini angka yang sangat besar. Oleh sebab itu saya minta betul-betul manajemen tata kelola di BPJS terus dibenahi dan diperbaiki,” pinta Jokowi seperti dilansir dari laman Setkab.go.id, pada 21 November lalu.

Sementara itu, Fachmi menegaskan, jaminan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat tidak mampu tidak akan berubah, sekalipun iuran premi naik.

“Plus integrasi Jaminan Kesehatan Daerah angkanya sekitar 37 juta. Jadi 133 juta sudah dijamin. Artinya, sesuai dengan prinsip UU SJSN ini kan prinsip gotong royong, yang mampu bayar sendiri, yang tidak mampu dibayari pemerintah,” kata dia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada 5 November lalu.

Hal yang sama juga akan diberikan kepada peserta yang akan turun kelas iuran. Ia memastikan, pelayanan medis yang akan diberikan kepada mereka tetap sama.

Di pihak lain, Terawan menyatakan, kenaikan iuran ini merupakan salah satu bukti keberpihakan pemerintah kepada masyarakat. Setidaknya, hal itu dapat terlihat dari adanya suntikan dana untuk PBI.

Pada tahun ini, kata Terawan, PBI mendapat kucuran dana pemerintah sebesar Rp 26,7 triliun dan tambahan suntikan dana sekitar Rp 9 triliun.

"Keberpihakan pemerintah jelas kepada orang yang kurang mampu, keberpihakan ini bisa menjadi dasar supaya isunya tidak terbalik. Pemerintah ini betul-betul ingin membantu orang yang kurang mampu. Pemerintah intinya adalah ingin membantu yang tidak mampu," kata Terawan.

Dengan besarnya potensi defisit yang akan terjadi, pemerintah perlu mencari cara agar persoalan itu segera diatasi.

Selain itu, kenaikan iuran BPJS juga dinilai dapat menghidupkan sentral pelayanan agar kembali bisa berjalan seperti semula.

"Karena itu, pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran. Harus diingat bahwa keputusan menaikkan iuran itu, pemerintah mengeluarkan pengeluaran yang besar sekali," kata dia. 

https://nasional.kompas.com/read/2019/12/23/12530691/kaleidoskop-2019-defisit-bpjs-kenaikan-iuran-dan-faktor-politis

Terkini Lainnya

Rute Transjakarta 9F Rusun Tambora - Pluit

Rute Transjakarta 9F Rusun Tambora - Pluit

Nasional
Tanggal 4 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 4 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 3 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 3 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sidang Perdana Hakim Agung Gazalba Saleh di Kasus Gratifikasi dan TPPU Digelar 6 Mei 2024

Sidang Perdana Hakim Agung Gazalba Saleh di Kasus Gratifikasi dan TPPU Digelar 6 Mei 2024

Nasional
Respons MA soal Pimpinan yang Dilaporkan ke KY karena Diduga Ditraktir Makan Pengacara

Respons MA soal Pimpinan yang Dilaporkan ke KY karena Diduga Ditraktir Makan Pengacara

Nasional
KY Verifikasi Laporan Dugaan Pelanggaran Etik Pimpinan MA, Dilaporkan Ditraktir Makan Pengacara

KY Verifikasi Laporan Dugaan Pelanggaran Etik Pimpinan MA, Dilaporkan Ditraktir Makan Pengacara

Nasional
Terbaik di Jatim, KPK Nilai Pencegahan Korupsi dan Integritas Pemkot Surabaya di Atas Rata-rata Nasional

Terbaik di Jatim, KPK Nilai Pencegahan Korupsi dan Integritas Pemkot Surabaya di Atas Rata-rata Nasional

BrandzView
Saksi Sebut SYL Bayar Biduan Rp 100 Juta Pakai Duit Kementan

Saksi Sebut SYL Bayar Biduan Rp 100 Juta Pakai Duit Kementan

Nasional
Dukung Pemasyarakatan Warga Binaan Lapas, Dompet Dhuafa Terima Penghargaan dari Kemenkumham

Dukung Pemasyarakatan Warga Binaan Lapas, Dompet Dhuafa Terima Penghargaan dari Kemenkumham

Nasional
Menginspirasi, Local Hero Pertamina Group Sabet 8 Penghargaan dari Kementerian LHK

Menginspirasi, Local Hero Pertamina Group Sabet 8 Penghargaan dari Kementerian LHK

Nasional
Prabowo Terima Menhan Malaysia, Jalin Kerja Sama Industri Pertahanan dan Pertukaran Siswa

Prabowo Terima Menhan Malaysia, Jalin Kerja Sama Industri Pertahanan dan Pertukaran Siswa

Nasional
Satgas Rafi 2024 Usai, Pertamina Patra Niaga Apresiasi Penindakan Pelanggaran SPBU oleh Aparat

Satgas Rafi 2024 Usai, Pertamina Patra Niaga Apresiasi Penindakan Pelanggaran SPBU oleh Aparat

Nasional
TNI dan Perwakilan Militer Indo-Pasifik Gelar Perencanaan Akhir Latma Super Garuda Shield 2024

TNI dan Perwakilan Militer Indo-Pasifik Gelar Perencanaan Akhir Latma Super Garuda Shield 2024

Nasional
Cegah Penyalahgunaan, Satgas Pangan Polri Awasi Distribusi Perusahaan Gula di Jawa Timur

Cegah Penyalahgunaan, Satgas Pangan Polri Awasi Distribusi Perusahaan Gula di Jawa Timur

Nasional
Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali, Panglima Agus Minta Bais TNI Mitigasi Ancaman

Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali, Panglima Agus Minta Bais TNI Mitigasi Ancaman

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke