JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak konsisten dengan wacana yang mereka lempar soal larangan mantan napi korupsi maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.
Sebelumnya, KPU berencana memuat aturan tersebut dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Pilkada.
Tetapi, setelah aturan tersebut diundangkan, ternyata tak ada satu pun pasal yang melarang eks koruptor maju sebagai gubernur, wali kota, atau bupati.
"Kalau KPU konsisten dengan pemilu kemarin bahwa calon legislatif yang pernah terkait kasus korupsi tidak bisa mencalonkan, mestinya juga bisa diterapkan dalam pemilihan kepala daerah saat ini. Hanya saja KPU kan tidak konsisten," kata Feri kepada Kompas.com, Selasa (10/12/2019).
Baca juga: Batal Larang Eks Koruptor Maju di Pilkada, KPU Dinilai Tidak Serius
Feri mengatakan, seharusnya, tidak diaturnya larangan tersebut dalam Undang-undang Pilkada tak menghentikan langkah KPU.
Sebab, dalam UUD 1945 pun ada pasal yang bunyinya pemilih harus dilindungi hak konsititusionalnya agar tidak dirugikan dalam proses demokrasi. Caranya, adalah dengan menghindarkan pemilih dari calon-calon yang pernah terjerat kasus korupsi.
Feri menyebut, KPU harus siap jika PKPU tersebut selanjutnya digugat ke Mahkamah Agung (MA) seperti halnya PKPU tentang Pencalonan Pemilu Legislatif. Karena, kata dia, hal itu sudah menjadi konsekuensi.
"Apapun dari kebijakan KPU kalo merugikan orang politik kan juga digugat. Jadi mestinya KPU harus siap untuk digugat dengan PKPU-PKPU apapun yang mereka anggap penting untuk melindungi demokrasi," kata Feri.
Baca juga: Tak Jadi Larang Eks Koruptor Maju Pilkada, Perludem Sebut KPU Dilema
Bersamaan dengan itu, lanjut Feri, KPU juga harus menyiapkan alternatif dan jalan keluar, seandainya memang aturan soal larangan eks koruptor itu digugat ke MA, dan MA memutuskan untuk membatalkan larangan tersebut.
Komisi Pemilihan Umum resmi menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.
Berdasarkan dokumen salinan yang diterima Kompas.com, PKPU tersebut dicatat sebagai PKPU Nomor 18 tahun 2019. PKPU itu resmi ditetapkan pada 2 Desember 2019.
Baca juga: Soal Larangan Eks Koruptor Maju Pilkada, Mantan Komisioner: Jangan Berharap Diatur KPU
Dari sejumlah syarat pencalonan yang dimuat dalam PKPU, tidak satupun syarat yang mengatur tentang larangan mantan narapidana korupsi maju sebagai calon. Padahal, KPU sebelumnya berencana memuat larangan tersebut dalam PKPU ini.
Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h, yang dilarang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya mantan terpidana bandar narkoba dan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
Meski begitu, ada aturan tambahan dalam PKPU Nomor 18 Tahun 2019 yang meminta partai politik untuk mengutamakan calon kepala daerah bukan seorang mantan terpidana korupsi. Aturan itu dimuat dalam dua ayat, yaitu Pasal 3A ayat (3) dan ayat (4).
Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan aturan pelaksanaan pemilihan kepala daerah 2020.
Dalam aturan tersebut, KPU tak melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon kepala daerah.
Alasan KPU tak mencantumkan larangan karena takut menjadi perdebatan di publik dan elite. Perdebatan membuat KPU tak bisa fokus menjalankan tahapan pilkada 2020.
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik menyatakan kepada kompas(dot)com,
“Sekarang ini kan kami lebih fokus pada tahapan. Kalau ini terus dipersoalkan akan mengganggu tahapan pencalonan.”
Komisi Pemberantasan Korupsi menanggapi peraturan KPU yang membolehkan eks napi koruptor jadi calon kepala daerah.
Wakil ketua Komisi pemberantasan korupsi, Saut Situmorang meminta KPU dan partai politik betul-betul selektif dalam menjaring calon kepala daerah.
Rekam jejak para calon kepala daerah bisa dibuka supaya masyarakat yang memilih tahu latar belakangnya. Bagaimana karier politik dan profesionalitas para calon. Apakah pernah tersandung kasus korupsi atau tidak.