Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilkada Asimetris, antara Politik Berbiaya Mahal dan Evaluasi Parpol

Kompas.com - 22/11/2019, 06:44 WIB
Dani Prabowo,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

Kompas TV Gubernur Jateng yang juga politisi PDIP, Ganjar Pranowo, mengaku kurang setuju dengan wacana kembali ke pilkada tidak langsung. Menurut Ganjar, praktik suap akan kembali terjadi jika pelaksanaan pilkada digelar tidak langsung. Gubernur Jateng berharap ada pembahasan lebih lanjut terkait pelaksanaan pilkada.<br /> <br /> Menurut Ganjar, jika nantinya pelaksanaan pilkada digelar tidak langsung, maka perlu adanya perbaikan dari segi kampanye ataupun pengelolaan anggaran. Hal ini dinilai penting karena, menurut Ganjar, selama ini yang menjadi masalah pelaksaan pilkada langsung adalah biaya yang mahal. Selain Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, suara penolakan diubahnya pilkada langsung juga disuarakan wakil ketua umum partai demokrat, agus agus Harimurti Yudhoyono, atau AHY.<br /> <br /> Bagi AHY, hak rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung harus terus dijalankan sesuai amanat reformasi tahun 1998. Wacana mengubah pilkada langsung sempat disuarakan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Wacana dilontarkan, lantaran banykanya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, akibat biaya politik yang mahal.<br /> <br /> Mantan Kapolri ini ingin pelaksanaan pilkada secara langsung hanya dilakukan di daerah yang memiliki tingkat kedewasaan berdemokrasi yang baik.

Salah satu gubernur yang ditangkap terkait kasus ini adalah Gubernur Jambi, Zumi Zola. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu ditangkap KPK karena menyuap DPRD Provinsi Jambi untuk membantu pengesahan Raperda APBD 2017 dan 2018. Nilai suapnya mencapai Rp 16,4 miliar.

Baca juga: Politisi PPP Nilai Sistem Pilkada Indonesia Saat Ini Sudah Asimetris

Selain itu, Zumi juga disangka menerima gratifikasi dengan nilai lebih dari Rp 40 miliar.

Sementara itu, menurut Titi, salah satu faktor pilkada berbiaya mahal yakni masih maraknya praktik jual beli suara yang melibatkan pemilih. 

Asimetris

Tito berpandangan, evaluasi atas pelaksanaan pilkada langsung diperlukan guna meminimalisir ekses negatif atas pelaksanaan kontestasi politik daerah yang berbiaya mahal.

Namun sebelumnya, perlu ada kajian terkait indeks kedewasaan demokrasi di tiap-tiap daerah yang telah melaksanakan pilkada langsung.

Hasil kajian itu nantinya akan menjadi opsi mekanisme pilkada dilakukan secara asimetris.

Misalnya, daerah yang memiliki kedewasaan demokrasi yang cukup tinggi, menurut Tito, dapat tetap melaksanakan pilkada langsung.

 

Baca juga: Pilkada di Indonesia Sudah Asimetris, Kemendagri Sarankan Ada Evaluasi

Sebab, masyarakat di daerah tersebut diasumsikan telah memahami dan mampu mengkritisi visi dan misi calon kepala daerah.

“Seperti di kota-kota besar, di mana masyarakatnya kalau ada kepala daerah datang menjelaskan tentang kampanye, program didengar, dimaknai, diserap, setelah itu bisa tahu plus minus dan bisa mengkritik," ujarnya.

Sementara itu, Titi menilai, persoalan pilkada yang mahal dapat diatasi bila masalah di hulu, yaitu partai politik, dibenahi terlebih dahulu.

Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2018 menunjukkan berada pada angka 72,39 pada skala 0-100. Angka ini meningkat 0,28 poin dari IDI 2017 yang sebesar 72,11.

Baca juga: Wacana Ubah Sistem Pilkada Dinilai akibat Tak Adanya Perangkat Evaluasi Demokrasi

Sama seperti tahun lalu, IDI tahun ini masuk dalam kategori sedang. Sebab, BPS mengklasifikasi tingkat demokrasi menjadi tiga kategori.

Pertama, kategori buruk bila IDI berada di bawah angka 60. Sementara, bila skala masuk di antara 60-80 termasuk kategori sedang. Adapun IDI dikatakan termasuk kategori baik jika angkanya di atas 80.

“Pokok permasalahan dari berbagai indeks demokrasi tersebut menemukan bahwa kualitas demokrasi kita kurang baik atau belum optimal karena belum berfungsinya DPRD secara lembaga perwakilan dan juga partai politik sebagai instrumen berdemokrasi,” kata Titi.

Ia menambahkan, tanpa adanya revitalisasi partai politik, perubahan sistem pemilihan apapun tidak akan menjadikan pilkada berbiaya murah. Pasalnya, sistem politik transaksional masih dapat terjadi di dalam sistem pilkada apapun.

“Justru malah bisa bertambah runyam kalau pilkadanya via DPRD, karena hak politik warga atau partisipasi politik warga secara langsung diberangus, akan tetapi skema pembenahan partai politik juga tidak bisa dipastikan sepenuhnya bekerja,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita di Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita di Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com