Salah satu gubernur yang ditangkap terkait kasus ini adalah Gubernur Jambi, Zumi Zola. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu ditangkap KPK karena menyuap DPRD Provinsi Jambi untuk membantu pengesahan Raperda APBD 2017 dan 2018. Nilai suapnya mencapai Rp 16,4 miliar.
Baca juga: Politisi PPP Nilai Sistem Pilkada Indonesia Saat Ini Sudah Asimetris
Selain itu, Zumi juga disangka menerima gratifikasi dengan nilai lebih dari Rp 40 miliar.
Sementara itu, menurut Titi, salah satu faktor pilkada berbiaya mahal yakni masih maraknya praktik jual beli suara yang melibatkan pemilih.
Asimetris
Tito berpandangan, evaluasi atas pelaksanaan pilkada langsung diperlukan guna meminimalisir ekses negatif atas pelaksanaan kontestasi politik daerah yang berbiaya mahal.
Namun sebelumnya, perlu ada kajian terkait indeks kedewasaan demokrasi di tiap-tiap daerah yang telah melaksanakan pilkada langsung.
Hasil kajian itu nantinya akan menjadi opsi mekanisme pilkada dilakukan secara asimetris.
Misalnya, daerah yang memiliki kedewasaan demokrasi yang cukup tinggi, menurut Tito, dapat tetap melaksanakan pilkada langsung.
Baca juga: Pilkada di Indonesia Sudah Asimetris, Kemendagri Sarankan Ada Evaluasi
Sebab, masyarakat di daerah tersebut diasumsikan telah memahami dan mampu mengkritisi visi dan misi calon kepala daerah.
“Seperti di kota-kota besar, di mana masyarakatnya kalau ada kepala daerah datang menjelaskan tentang kampanye, program didengar, dimaknai, diserap, setelah itu bisa tahu plus minus dan bisa mengkritik," ujarnya.
Sementara itu, Titi menilai, persoalan pilkada yang mahal dapat diatasi bila masalah di hulu, yaitu partai politik, dibenahi terlebih dahulu.
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2018 menunjukkan berada pada angka 72,39 pada skala 0-100. Angka ini meningkat 0,28 poin dari IDI 2017 yang sebesar 72,11.
Baca juga: Wacana Ubah Sistem Pilkada Dinilai akibat Tak Adanya Perangkat Evaluasi Demokrasi
Sama seperti tahun lalu, IDI tahun ini masuk dalam kategori sedang. Sebab, BPS mengklasifikasi tingkat demokrasi menjadi tiga kategori.
Pertama, kategori buruk bila IDI berada di bawah angka 60. Sementara, bila skala masuk di antara 60-80 termasuk kategori sedang. Adapun IDI dikatakan termasuk kategori baik jika angkanya di atas 80.
“Pokok permasalahan dari berbagai indeks demokrasi tersebut menemukan bahwa kualitas demokrasi kita kurang baik atau belum optimal karena belum berfungsinya DPRD secara lembaga perwakilan dan juga partai politik sebagai instrumen berdemokrasi,” kata Titi.
Ia menambahkan, tanpa adanya revitalisasi partai politik, perubahan sistem pemilihan apapun tidak akan menjadikan pilkada berbiaya murah. Pasalnya, sistem politik transaksional masih dapat terjadi di dalam sistem pilkada apapun.
“Justru malah bisa bertambah runyam kalau pilkadanya via DPRD, karena hak politik warga atau partisipasi politik warga secara langsung diberangus, akan tetapi skema pembenahan partai politik juga tidak bisa dipastikan sepenuhnya bekerja,” pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.