Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilkada Asimetris, antara Politik Berbiaya Mahal dan Evaluasi Parpol

Kompas.com - 22/11/2019, 06:44 WIB
Dani Prabowo,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Rencana evaluasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung kian mencuat. Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan calon kepala daerah disinyalir menjadi salah satu penyebabnya.

Wacana yang kini berkembang yaitu melaksanakan pilkada secara asimetris di seluruh wilayah Indonesia. Meskipun, pelaksanaan pilkada dengan model ini bukanlah hal yang baru di negeri ini.

Provinsi Aceh, DKI Jakarta, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah tiga daerah yang telah melaksanakan pilkada secara asimetris. Namun, pilkada semacam ini dinilai tak bisa dilaksanakan di seluruh wilayah di Tanah Air.

“Pilihan asimetris itu tidaklah pilihan final tapi pilihan temporer dalam rangka menyiapkan pranata politik dan sosial masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada Kompas.com, Rabu (20/11/2019).

Baca juga: Wapres: Pilkada DPRD Dianggap Tak Demokratis, Pilkada Langsung Biayanya Besar

Menurut dia, praktik mahar di partai politik menjadi salah satu faktor mahalnya kontestasi politik.

Oleh karena itu, evaluasi pilkada langsung pun dinilai tidak akan memberikan dampak berarti bila tidak ada evaluasi terhadap partai politik.

Pilkada via DPRD (tidak langsung) pun tidak jadi solusi. Justru malah politik kita makin gelap, transaksional, dan elitis,” imbuhnya.

Baca juga: Bawaslu Nilai Pilkada Asimetris Boleh, asalkan Transparan

Tak heran pula bila kemudian Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut, paling tidak butuh Rp 30 miliar bagi calon bupati untuk bisa terpilih di dalam kontestasi pilkada.

“Gubernur lebih lagi. Kalau ada yang mengatakan enggak bayar, 0 persen, saya pengin ketemu orangnya,” tegas Tito di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/11/2019).

Mengapa mahal?

Selain mahar kepada partai, ada banyak biaya yang harus dikeluarkan calon kepala daerah untuk keperluan pilkada. Mulai dari persiapan, kampanye, alat peraga, hingga membiayai saksi di tempat pemungutan suara (TPS).

Tito pun membandingkan gaji yang diperoleh kepala daerah setelah terpilih dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan selama kontestasi. Menurut dia, jumlahnya tidak sebanding.

“Dilihat pemasukan dari gaji, Rp 200 juta kali 12 (bulan), Rp 2,4 (miliar), lima tahun Rp 12 M, keluar Rp 30 M. Mana mau tekor? Kalau dia mau tekor saya hormat sekali. Itu berarti betul-betul mau mengabdi buat nusa-bangsa," ujar mantan Kapolri ini.

Baca juga: Pilkada Asimetris, Tiga Daerah Ini Sudah Tentukan Kepala Daerah dengan Cara Beda

Tak heran bila di kemudian hari banyak kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) baik yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri maupun kejaksaan.

Melansir data Tren Penindakan Kasus Korupsi 2018 yang dikeluarkan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 28 bupati/wakil bupati, 7 walikota/wakil walikota, dan 2 gubernur/wakil gubernur yang ditangkap aparat penegak hukum terkait perkara korupsi.

Halaman:


Terkini Lainnya

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Nasional
KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

Nasional
Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Nasional
Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Nasional
Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Nasional
Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

Nasional
Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Nasional
KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

Nasional
Cak Imin Mengaku Belum Dapat Undangan KPU untuk Penetapan Prabowo-Gibran

Cak Imin Mengaku Belum Dapat Undangan KPU untuk Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
Tentara AS Meninggal Saat Tinjau Tempat Latihan Super Garuda Shield di Hutan Karawang

Tentara AS Meninggal Saat Tinjau Tempat Latihan Super Garuda Shield di Hutan Karawang

Nasional
DKPP Terima 200 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Selama 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 200 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Selama 4 Bulan Terakhir

Nasional
Nasdem-PKB Sepakat Tutup Buku Lama, Buka Lembaran Baru

Nasdem-PKB Sepakat Tutup Buku Lama, Buka Lembaran Baru

Nasional
Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com