Salin Artikel

Pilkada Asimetris, antara Politik Berbiaya Mahal dan Evaluasi Parpol

JAKARTA, KOMPAS.com – Rencana evaluasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung kian mencuat. Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan calon kepala daerah disinyalir menjadi salah satu penyebabnya.

Wacana yang kini berkembang yaitu melaksanakan pilkada secara asimetris di seluruh wilayah Indonesia. Meskipun, pelaksanaan pilkada dengan model ini bukanlah hal yang baru di negeri ini.

Provinsi Aceh, DKI Jakarta, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah tiga daerah yang telah melaksanakan pilkada secara asimetris. Namun, pilkada semacam ini dinilai tak bisa dilaksanakan di seluruh wilayah di Tanah Air.

“Pilihan asimetris itu tidaklah pilihan final tapi pilihan temporer dalam rangka menyiapkan pranata politik dan sosial masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada Kompas.com, Rabu (20/11/2019).

Menurut dia, praktik mahar di partai politik menjadi salah satu faktor mahalnya kontestasi politik.

Oleh karena itu, evaluasi pilkada langsung pun dinilai tidak akan memberikan dampak berarti bila tidak ada evaluasi terhadap partai politik.

“Pilkada via DPRD (tidak langsung) pun tidak jadi solusi. Justru malah politik kita makin gelap, transaksional, dan elitis,” imbuhnya.

Tak heran pula bila kemudian Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut, paling tidak butuh Rp 30 miliar bagi calon bupati untuk bisa terpilih di dalam kontestasi pilkada.

“Gubernur lebih lagi. Kalau ada yang mengatakan enggak bayar, 0 persen, saya pengin ketemu orangnya,” tegas Tito di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/11/2019).

Mengapa mahal?

Selain mahar kepada partai, ada banyak biaya yang harus dikeluarkan calon kepala daerah untuk keperluan pilkada. Mulai dari persiapan, kampanye, alat peraga, hingga membiayai saksi di tempat pemungutan suara (TPS).

Tito pun membandingkan gaji yang diperoleh kepala daerah setelah terpilih dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan selama kontestasi. Menurut dia, jumlahnya tidak sebanding.

“Dilihat pemasukan dari gaji, Rp 200 juta kali 12 (bulan), Rp 2,4 (miliar), lima tahun Rp 12 M, keluar Rp 30 M. Mana mau tekor? Kalau dia mau tekor saya hormat sekali. Itu berarti betul-betul mau mengabdi buat nusa-bangsa," ujar mantan Kapolri ini.

Tak heran bila di kemudian hari banyak kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) baik yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri maupun kejaksaan.

Melansir data Tren Penindakan Kasus Korupsi 2018 yang dikeluarkan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 28 bupati/wakil bupati, 7 walikota/wakil walikota, dan 2 gubernur/wakil gubernur yang ditangkap aparat penegak hukum terkait perkara korupsi.

Salah satu gubernur yang ditangkap terkait kasus ini adalah Gubernur Jambi, Zumi Zola. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu ditangkap KPK karena menyuap DPRD Provinsi Jambi untuk membantu pengesahan Raperda APBD 2017 dan 2018. Nilai suapnya mencapai Rp 16,4 miliar.

Selain itu, Zumi juga disangka menerima gratifikasi dengan nilai lebih dari Rp 40 miliar.

Sementara itu, menurut Titi, salah satu faktor pilkada berbiaya mahal yakni masih maraknya praktik jual beli suara yang melibatkan pemilih. 

Asimetris

Tito berpandangan, evaluasi atas pelaksanaan pilkada langsung diperlukan guna meminimalisir ekses negatif atas pelaksanaan kontestasi politik daerah yang berbiaya mahal.

Namun sebelumnya, perlu ada kajian terkait indeks kedewasaan demokrasi di tiap-tiap daerah yang telah melaksanakan pilkada langsung.

Hasil kajian itu nantinya akan menjadi opsi mekanisme pilkada dilakukan secara asimetris.

Misalnya, daerah yang memiliki kedewasaan demokrasi yang cukup tinggi, menurut Tito, dapat tetap melaksanakan pilkada langsung.

Sebab, masyarakat di daerah tersebut diasumsikan telah memahami dan mampu mengkritisi visi dan misi calon kepala daerah.

“Seperti di kota-kota besar, di mana masyarakatnya kalau ada kepala daerah datang menjelaskan tentang kampanye, program didengar, dimaknai, diserap, setelah itu bisa tahu plus minus dan bisa mengkritik," ujarnya.

Sementara itu, Titi menilai, persoalan pilkada yang mahal dapat diatasi bila masalah di hulu, yaitu partai politik, dibenahi terlebih dahulu.

Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2018 menunjukkan berada pada angka 72,39 pada skala 0-100. Angka ini meningkat 0,28 poin dari IDI 2017 yang sebesar 72,11.

Sama seperti tahun lalu, IDI tahun ini masuk dalam kategori sedang. Sebab, BPS mengklasifikasi tingkat demokrasi menjadi tiga kategori.

Pertama, kategori buruk bila IDI berada di bawah angka 60. Sementara, bila skala masuk di antara 60-80 termasuk kategori sedang. Adapun IDI dikatakan termasuk kategori baik jika angkanya di atas 80.

“Pokok permasalahan dari berbagai indeks demokrasi tersebut menemukan bahwa kualitas demokrasi kita kurang baik atau belum optimal karena belum berfungsinya DPRD secara lembaga perwakilan dan juga partai politik sebagai instrumen berdemokrasi,” kata Titi.

Ia menambahkan, tanpa adanya revitalisasi partai politik, perubahan sistem pemilihan apapun tidak akan menjadikan pilkada berbiaya murah. Pasalnya, sistem politik transaksional masih dapat terjadi di dalam sistem pilkada apapun.

“Justru malah bisa bertambah runyam kalau pilkadanya via DPRD, karena hak politik warga atau partisipasi politik warga secara langsung diberangus, akan tetapi skema pembenahan partai politik juga tidak bisa dipastikan sepenuhnya bekerja,” pungkasnya.

https://nasional.kompas.com/read/2019/11/22/06442131/pilkada-asimetris-antara-politik-berbiaya-mahal-dan-evaluasi-parpol

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke