Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Larang eks Koruptor Ikut Pilkada, KPU Disebut Melanggar Hukum dan HAM

Kompas.com - 14/11/2019, 06:40 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai, keinginan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang mantan terpidana kasus korupsi ikut pilkada, melanggar ketentuan hukum dan hak asasi manusia (HAM).

"Mengapa pasal larangan mantan terpidana kasus korupsi maju pilkada dinilai melampaui kewenangan undang-undang dan menabrak putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) sehingga dinilai melanggar HAM? Sebab berdasarkan UUD 1945, jika melarang, maka membatasi hak individu, " ujar Margarito dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2019).

Baca juga: Politisi PDI-P Ini Klaim Parpolnya Tolak Eks Koruptor Mendaftar Pilkada 2020

Margarito melanjutkan, UUD 1945 juga menegaskan bahwa membatasi hak individu harus diatur oleh undang-undang.

Terkait hal ini, dia mengingatkan KPU tidak memiliki hak untuk menyusun undang-undang.

"Memangnya undang-undang itu (bisa) dibikin oleh KPU? Yang benar saja. Enggak bisa, " tutur Margarito.

Dia lantas mengingatkan kondisi saat KPU mencoba mengatur larangan bagi mantan terpidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Baca juga: Soal Larangan Eks Koruptor Ikut Pilkada, KPU Diingatkan Jangan Langgar UU

Aturan itu diatur pada Peraturan KPU (PKPU). Namun, aturan tersebut dibatalkan oleh MA pada 2018 lalu.

"MA sudah mengatakan bahwa itu salah. Tidak boleh diatur oleh KPU. Mengapa sekarang dibikin lagi aturannya?, " tegas Margarito.

Dia lantas menyinggung alasan KPU soal beberapa kepala daerah yang pernah tersangkut korupsi kemudian terpilih kembali.

Baca juga: Kata Tito Karnavian soal Rencana Eks koruptor Dilarang Ikut Pilkada...

Menurut dia, tidak semua kondisi bisa dipukul rata seperti itu.

Padahal, kata Margarito, ada individu yang belum pernah tersangkut kasus korupsi kemudian saat jadi kepala daerah tertangkap tangan karena korupsi.

"Bagaiamana anda (KPU) melihat fakta yang berbeda ini? Kalau anda bilang korupsi terjadi karena orang itu mantan terpidana korupsi, lalu bagaimana dengan orang yang tidak korupsi kemudian korupsi, yang banyak-banyak itu, ini kan logika yang konyol, " tambah dia.

Sebelumnya, KPU bersikukuh melarang mantan narapidana korupsi maju pada Pilkada 2020.

Baca juga: Alasan Negara Hukum, PPP Tolak Eks Koruptor Dilarang Ikut Pilkada

Larangan itu dimasukkan dalam rancangan Peraturan KPU PKPU tentang Pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020.

Rancangan aturan tersebut pun disampaikan KPU dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR, Senin (4/11/2019).

"KPU kan sudah melaporkan bahwa mantan terpidana korupsi itu menjadi bagian yang kita sebut, kita atur dalam Peraturan KPU tentang pencalonan ini," kata Ketua KPU Arief Budiman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

 

Kompas TV Penunjukkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahoksebagai salah satu Direktur Utama BUMN,mendapat respons positifdari Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com