JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo memastikan tak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi.
Sikap Kepala Negara ini menjadi antiklimaks setelah sebelumnya sempat berjanji menerbitkan perppu tersebut.
Janji itu disampaikan Jokowi usai bertemu puluhan tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Baca juga: Politisi PPP: Komisi III Apresiasi Jokowi yang Tak Terbitkan Perppu KPK
Mereka yang diundang antara lain mantan Ketua KPK Ery Riana Hadjapamekas, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang kini menjadi Menko Polhukam Mahfud MD, pakar hukum tata negara Feri Amsari dan Bivitri Susanti.
Dalam pertemuan yang berlangsung dua jam tersebut, Jokowi mengaku mendapat masukan untuk menerbitkan Perppu KPK untuk menjawab tuntutan mahasiswa.
"Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, utamanya masukan itu berupa perppu," kata Jokowi, saat itu.
Baca juga: Presiden Jokowi Tak Terbitkan Perppu, Ini Respons KPK
"Tentu saja ini kami hitung, kalkulasi dan nanti setelah itu akan kami putuskan dan sampaikan kepada senior-senior yang hadir pada sore hari ini," imbuhnya.
Namun, Jokowi berubah pikiran.
Ia beralasan, menghormati proses uji materi terhadap UU yang dinilai sarat upaya pelemahan terhadap komisi antirasuah itu, yang kini sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi.
"Jangan ada uji materi ditimpa dengan keputusan lain. Saya kira, kita harus tahu sopan santun dalam ketatanegaraan," kata dia saat berbincang dengan awak media di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Baca juga: Alasan Jokowi Tak Keluarkan Perppu Dinilai Tak Tepat
Berikut perjalanan singkat revisi UU KPK:
Tak ada angin tak ada hujan, secara tiba-tiba Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengagendakan rapat paripurna pada Kamis (5/9/2019) untuk membahas usulan Badan Legislasi atas revisi UU KPK.
Sejak wacana itu menjadi polemik, Baleg tidak pernah mempublikasikan rapat pembahasan draf rancangan undang-undang.
Baca juga: Sempat Pertimbangkan Perppu KPK, Jokowi Dinilai Hanya Ingin Redam Kemarahan Publik
Ada beberapa poin yang menjadi polemik dalam revisi tersebut, seperti soal penyadapan, keberadaan dewan pengawas, kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3), hingga status kepegawaian KPK.
Poin perubahan ini tidak jauh berbeda dengan rekomendasi Panitia Angket DPR tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan KPK terkait hasil penyelidikan terkait pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diumumkan pada 2018.
Adapun substansi revisi yang disepakati menyangkut enam poin perubahan kedudukan dan kewenangan KPK.
Baca juga: Mahfud MD Dinilai Tak Cukup Kuat Dorong Jokowi Terbitkan Perppu KPK
Pertama, kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bersifat independen.
Pegawai KPK ke depan juga akan berstatus aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada UU ASN. Padahal, selama ini KPK diketahui sebagai lembaga ad hoc yang independen.
Kedua, kewenangan penyadapan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas.
Baca juga: Tak Akan Terbitkan Perppu, Jokowi Dinilai Berada di Barisan Perusak KPK
Ketiga, penegasan KPK sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu, sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Keempat, tugas KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan.
Kelima, pembentukan dewan pengawas KPK berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK.
Baca juga: Tak Terbitkan Perppu, Jokowi Mulai Jaring Dewan Pengawas KPK
Keenam, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3. Penghentian itu harus dilaporkan kepada dewan pengawas dan diumumkan ke publik.
Namun DPR tak bergeming. Mereka tetap melanjutkan pembahasan di tengah berbagai upaya penolakan yang disampaikan sejumlah elemen masyarakat.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko menilai, DPR dan Jokowi baru saja mengubur harapan publik dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih.
Baca juga: Presiden Jokowi Pastikan Tak akan Menerbitkan Perppu KPK
Menurut dia, revisi ini justru membuka peluang bagi koruptor untuk semakin leluasa melakukan kejahatan korupsi.
"Pelemahan KPK seakan membuka ruang pandora yang memberikan peluang para koruptor untuk mulai berpesta pora kembali," kata Dadang dalam keterangan tertulis, Selasa (17/9/2019).
Pada hari yang sama, DPR menggelar rapat paripurna untuk mengesahkan UU KPK hasil revisi. Dalam rapat yang berlangsung selama 30 menit itu, semua fraksi menyatakan setuju sekalipun ada tiga fraksi yang memberikan catatan yaitu Fraksi PKS, Gerindra, dan Demokrat.
Baca juga: Presiden Jokowi Pastikan Tak akan Menerbitkan Perppu KPK
Ketua Fraksi Gerindra Edhy Prabowo, misalnya, mempersoalkan proses pemilihan dewan pengawas KPK yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah dan tanpa dipilih langsung oleh lembaga independen.
"Ini menjadi catatan kita semua bahwa ke depan kalau ini masih dipertahankan, saya, kami tidak bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan semangat penguatan KPK itu sendiri yang ujungnya justru malah melemahkan," ucap Edhy.
Setelah UU ini disahkan, para pegawai KPK kemudian mengibarkan bendera kuning di depan Gedung KPK.
Baca juga: Masuk Kabinet Jokowi, Konsistensi Mahfud MD Dukung Perppu KPK Diuji
Mereka secara bersama-sama dengan masing-masing orang memegang bendera kuning, sebagai tanda duka.
Aksi tersebut sebagai bentuk kekecewaan pegawai KPK atas revisi UU KPK yang telah disahkan DPR.
Pasalnya, pemerintah dan DPR hanya membutuhkan waktu 12 hari untuk membahas revisi UU ini.
Pengesahan UU KPK membawa gelombang penolakan besar-besaran di sejumlah wilayah.
Massa yang mayoritas merupakan mahasiswa di berbagai daerah bergerak menduduki DPRD provinsi dan kabupaten/kota wilayah masing-masing.
Di Jakarta, puncak aksi massa berlangsung di depan Gedung DPR/MPR, Senayan. Puluhan ribu mahasiswa dan aliansi masyarakat menyatakan penolakan mereka terhadap pengesahan UU KPK.
Baca juga: Mahasiswa: Nawacita Jokowi Gagal jika Perppu KPK Tidak Diterbitkan
Mereka pun mendesak Presiden segera menerbitkan perppu terkait UU KPK.
Aksi massa pun sempat berujung ricuh. Sejumlah mahasiswa dilaporkan mengalami luka-luka akibat bentrok dengan aparat kepolisian yang berjaga.
Bahkan, beberapa mahasiswa di sejumlah daerah dilaporkan meninggal dunia akibat terkena peluru tajam.
Kerasnya desakan masyarakat yang menolak revisi UU KPK akhirnya berujung pertemuan antara sejumlah tokoh dengan Presiden di Istana Merdeka.
Baca juga: Soal Perppu KPK, ICW: Presiden Jokowi Harusnya Tak Gentar Digertak Elite Politik
Pertemuan ini terjadi, setelah sebelumnya mahasiswa sempat menolak bertemu dengan Presiden di istana.
Awalnya, Jokowi sempat menyatakan menolak untuk menerbitkan perppu. Bahkan penolakan itu muncul hingga dua kali.
"Enggak ada," kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Senin (23/9/2019).
Baca juga: Presiden Jokowi Diminta Tak Ragu Terbitkan Perppu KPK
Penolakan tersebut bertepatan dengan hari pertama demonstrasi mahasiswa. Sedangkan penolakan kedua disampaikan Jokowi sehari kemudian, meski saat itu sudah ada korban dari mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa.
Setelah itu, sikap Jokowi mulai melunak setelah bertemu dengan para tokoh.
"Akan kami kalkulasi, kami hitung, pertimbangkan terutama dalam sisi politiknya," kata Jokowi, Senin (26/9/2019).
Baca juga: Survei PPI: Mayoritas Responden Ingin Presiden Jokowi Terbitkan Perppu KPK
Namun, Kepala Negara enggan memberikan kepastian kapan ia akan mengambil keputusan terkait penerbitan perppu itu.
"Secepat-cepatnya dalam waktu sesingkat-singkatnya," ujarnya.
Waktu pun terus berjalan. Jokowi akhirnya dilantik sebagai Presiden untuk periode kedua pada 20 Oktober 2019.
Namun, hingga saat itu belum ada tanda-tanda ia akan memenuhi janjinya kepada mahasiswa dan sejumlah tokoh masyarakat terkait rencana penerbitan perppu.
Baca juga: Ketua KPK Berharap Jokowi Bersedia Keluarkan Perppu Setelah Pelantikan
Hingga akhirnya, Jokowi memastikan, tak akan menerbitkan perppu KPK dengan alasan masih adanya proses judicial review di MK.
"Jangan ada uji materi ditimpa dengan keputusan yang lain. Saya kira, kita harus tahu sopan santu dalam ketatanegaraan," pungkas Jokowi di Istana Merdeka, Jumat (1/11/2019).
Seperti diketahui, berbagai kalangan mengajukan uji materi UU KPK ke MK. Salah satu yang tengah berjalan prosesnya yaitu gugatan dari advokat bernama Gregorius Yonathan Deowikaputra.
Baca juga: ICW Pegang Janji Jokowi Perkuat KPK, Penerbitan Perppu Masih Ditunggu
Namun, dalam sidang dipimpin Anwar Usman dan anggota majelis hakim, Enny Nurbaningsih dan Wahiduddin Adams, permohonan yang disampaikan Gregorius dipertanyakan lantaran banyak mengutip kutipan dari media massa.
"Dalam permohonan pemohon, banyak sekali mengutip berita dari media massa. Seharusnya, berita di media massa dijadikan petunjuk saja, seperti apa proses pembentukan RUU sampai menjadi UU, di mana letak cacat formilnya di setiap proses pembentukan UU," ucap Enny.
"Dugaan adanya cacat formil dalam pembentukan UU KPK ini harus disertakan bukti-buktinya, misalnya, tahap pertam di mana cacat formilnya. Itu harus dikuatkan sehingga bisa meyakinkan hakim, jangan hanya mengutip dari media massa," sambungnya.