Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Korupsi di Sarang Demokrasi

Kompas.com - 09/09/2019, 09:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

(1) keinginan pembentukan dewan pengawas KPK; (2) penyadapan dan penyitaan yang memerlukan izin dewan pengawas; (3) pemberian wewenang bagi KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan, dan (4) pengangkatan penyidik independen (Saldi Isra, 2016:130).

Kelompok ini ingin melemahkan KPK melalui seleksi calon pimpinan KPK, khususnya dugaan meloloskan calon bermasalah (tidak menyetor Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara).

Bagi kelompok ini, KPK sungguh merupakan ancaman. Operasi tangkap tangan (OTT) KPK menyentuh semua lapisan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif yang menunjukkan daya meluasnya korupsi.

Memangkas akar penyakit

Kepemimpinan Presiden Jokowi diuji.

Pertama, harus memastikan kabinet yang akan dibentuknya bersih dari korupsi.

Ini menjadi ujian di tengah partai politik yang belum profesional, yang pendanaannya dihidupi ketua umum partai dan elite-elite partai yang masuk lembaga negara, termasuk kementerian dan BUMN selama ini (Leo Agustino dan Indah Fitriani, 2017: 132).

Kedua, memastikan keselamatan KPK dengan menimbang ulang calon pimpinan KPK yang sudah diserahkan ke DPR yang diduga bermasalah sedari dini.

Ketiga, mengingat Presiden Jokowi bukan ketua partai, koalisi yang harus dilakukan presiden adalah dengan rakyat serta komponen masyarakat sipil yang menjunjung kebenaran dan penegakan hukum yang bersih.

Dipastikan jika tidak melakukan koalisi di atas, Presiden Jokowi akan tersandera dalam lalu lintas jaringan oligarki bisnis-politik yang sudah berkartel. Kebijakannya akan sarat konflik kepentingan.

Keempat, Presiden Jokowi harus berjihad. Berani mengambil sikap tidak populis. Memberikan keberpihakan terhadap penegakan hukum otentik. Tidak mudah dipengaruhi siapa pun yang akan mendorong percepatan kematian demokrasi.

Penulis masih optimistis Presiden Jokowi dapat keluar dari lingkaran oligarki dan kartel meski tak mudah.

Bagi penulis, ada baiknya Presiden Jokowi membuka ruang publik yang luas agar pemikiran-pemikiran rasionalitas komunikatif dalam konteks demokrasi deliberatif ala Habermas dapat hadir.

Dengan kebebasan, kesetaraan dan dialog-dialog partisipatif, Presiden Jokowi dituntut untuk lebih banyak mendengar suara publik, melibatkan publik, sembari merumuskan secara cermat kalkulasi-kalkulasi politik yang mengarah pada penguatan demokrasi dan negara hukum secara berkelanjutan.

Sinyal investasi RI disalip Vietnam harus dijadikan penanda oleh Presiden Jokowi untuk mengevaluasi persoalan oligarki bisnis-politik dan kartel sebagai bagian penghambat ekonomi, termasuk korupsi yang sudah meracuni denyut kehidupan negara.

Dengan demikian, kita tidak terjebak oleh simulasi tabir yang menutupi esensi. Dengan pemahaman akar masalah yang subtil dan detail, demokrasi dan negara hukum kita masih bisa diselamatkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com