Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

5 Poin Revisi UU KPK yang Diduga Bakal Lemahkan Pemberantasan Korupsi

Kompas.com - 06/09/2019, 06:31 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bagaikan operasi senyap, DPR tiba-tiba menggelar rapat paripurna pada Kamis (5/9/2019) untuk membahas usulan Badan Legislasi (Baleg) atas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Padahal, wacana revisi undang-undang ini sudah mengendap di DPR sejak beberapa tahun terakhir.

Tak perlu waktu lama, dalam rapat paripurna, semua fraksi menyetujui dilakukannya revisi terhadap undang-undang ini.

Baca juga: Operasi Senyap Revisi UU KPK, Menunggu Jokowi Menepati Janjinya...

Ketuk palu Wakil Ketua DPR Utut Adianto selaku pimpinan rapat pun menjadi pertanda bahwa rancangan revisi UU KPK telah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR.

Namun demikian, rancangan revisi UU ini menuai kritik. Sejumlah pihak angkat bicara bahwa poin-poin revisi tersebut justru bakal melemahkan KPK.

Apa saja poin yang dimaksud?

1. KPK tak lagi independen

Salah satu poin revisi UU KPK mengatur tentang kedudukan KPK yang berada pada cabang eksekutif.

Dengan kata lain, jika revisi undang-undang ini disahkan, KPK akan menjadi lembaga pemerintah.

"Penataan kelembagaan KPK dilaksanakan sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, di mana dinyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari cabang kekuasaan pemerintahan. Komisi Pemberantasan Korupsi termasuk ranah kekuasaan eksekutif yang sering disebut lembaga pemerintah (regeringsorgaan–bestuursorganen)," demikian bunyi penjelasan umum rancangan revisi UU KPK.

Adapun status KPK selama ini bukan bagian dari pemerintah, melainkan lembaga ad hoc independen.

Baca juga: KPK Ungkap 9 Hal dalam Revisi UU KPK yang Berisiko Melumpuhkannya

Kendati demikian, berdasarkan revisi UU KPK, meski nantinya berstatus lembaga pemerintah, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, KPK bersifat independen.

Namun, jika revisi UU KPK ini disahkan, pegawai KPK ke depan akan berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN). Dengan demikian, mereka harus tunduk pada Undang-Undang ASN.

2. Dimonitor dewan pengawas

Revisi Undang-Undang menyebutkan pembentukan dewan pengawas KPK. Setidaknya, ada tujuh pasal yang khusus mengatur tentang dewan pengawas tersebut, yaitu Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G.

Berdasarkan Pasal 37A, dewan pengawas dibentuk dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Dewan pengawas bersifat nonstruktural dan mandiri.

Anggota dewan pengawas berjumlah lima orang dengan masa jabatan empat tahun. Seseorang dapat menjadi dewan pengawas apabila ia berusia minimal 55 tahun dan tidak tergabung dalam partai politik.

Dewan pengawas dipilih oleh DPR berdasar usulan presiden. Adapun presiden dalam mengusulkan calon anggota dewan pengawas dibantu oleh panitia seleksi (pansel).

Baca juga: Lewat Dewan Pengawas KPK, Eksekutif-DPR Dinilai Bisa Intervensi Kasus

Selain mengawasi tugas dan wewenang KPK, dewan pengawas berwenang dalam 5 hal lainnya.

Pertama, memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan. Kedua, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK.

Selain itu, bertugas melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK serta menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK.

3. Izin untuk menyadap 

Jika selama ini KPK bebas melakukan penyadapan terhadap terduga tindak pidana korupsi, dalam rancangan Undang-Undang KPK, disebutkan bahwa lembaga antirasuah itu harus mendapat izin tertulis dari dewan pengawas sebelum menyadap.

Setelah kantongi izin, KPK dapat melakukan penyadapan maksimal selama tiga bulan sejak izin diberikan.

Baca juga: Poin Revisi UU KPK: Dari Penyadapan, Pembentukan Dewan Pengawas, hingga Kewenangan SP3

Penyadapan yang telah selesai juga harus dipertanggungjawabkan ke pimpinan KPK serta dewan pengawas paling lambat 14 hari setelah penyadapan selesai.

Hasil penyadapan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12D, bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam pemberantasan korupsi.

Hasil penyadapan yang tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani KPK wajib dimusnahkan segera.

Suasana Rapat Paripurna Masa Persidangan I Tahun Sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2019). Rapat paripurna tersebut membahas RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR dan DPRD (UU MD3), serta RUU tentang Perubahan Atas UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI Suasana Rapat Paripurna Masa Persidangan I Tahun Sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2019). Rapat paripurna tersebut membahas RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR dan DPRD (UU MD3), serta RUU tentang Perubahan Atas UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

4. Terbitkan SP3

Salah satu poin dalam revisi Undang-Undang KPK ini ialah kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

SP3 diterbitkan untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 40 Ayat 1 yang berbunyi, "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun". 

Penghentian penyidikan dan penuntutan nantinya harus dilaporkan ke dewan pengawas KPK dalam jangka waktu satu pekan terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.

Baca juga: Jika Revisi UU Disahkan, KPK Punya Wewenang SP3 Kasus yang Tak Selesai dalam Setahun

Namun demikian, jika ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan atau berdasarkan putusan praperadilan, pimpinan KPK dapat mencabut surat SP3.

5. Asal penyelidik dan penyidik

Draf revisi UU KPK ini juga mengatur soal asal penyelidik dan penyidik.

Dalam UU KPK yang saat ini berlaku, tidak ditegaskan bahwa penyelidik KPK harus berasal dari Polri.

Namun, dalam revisi UU Pasal 43 disebutkan bahwa penyelidik harus diangkat dari Kepolisian RI. 

Baca juga: Draf Revisi UU KPK Atur Asal Penyelidik dan Penyidik KPK dari Polri

Sementara itu, mengenai penyidik yang diatur dalam Pasal 45, UU yang saat ini berlaku menyebutkan bahwa penyidik KPK adalah yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

UU revisi mengatur lebih jelas ketentuan tersebut, bahwa penyidik diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

Nasional
Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

BrandzView
Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Nasional
Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Nasional
Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Nasional
Hasto: Di Tengah Panah 'Money Politic' dan 'Abuse of Power', PDI-P Masih Mampu Jadi Nomor 1

Hasto: Di Tengah Panah "Money Politic" dan "Abuse of Power", PDI-P Masih Mampu Jadi Nomor 1

Nasional
Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Nasional
Ke Kader yang Akan Ikut Pilkada, Megawati: Kalau Bohong, Lebih Baik Tidak Usah

Ke Kader yang Akan Ikut Pilkada, Megawati: Kalau Bohong, Lebih Baik Tidak Usah

Nasional
Hakim: Hinaan Rocky Gerung Bukan ke Pribadi Jokowi, tetapi kepada Kebijakan

Hakim: Hinaan Rocky Gerung Bukan ke Pribadi Jokowi, tetapi kepada Kebijakan

Nasional
Belum Putuskan Maju Pilkada di Mana, Kaesang: Lihat Dinamika Politik

Belum Putuskan Maju Pilkada di Mana, Kaesang: Lihat Dinamika Politik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com