JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Legislasi DPR mengklaim sudah mengundang para pakar hukum untuk membahas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Langkah ini sudah diambil saat pembahasan revisi UU KPK ini pada 2016 lalu.
"Ini kan RUU stok lama. Awal 2016 pernah ramai diperdebatkan. Dalam persiapan draf revisi dan naskah akademik, pada waktu itu Baleg melaksanakan RDPU dengan sejumlah pakar," kata Anggota Baleg DPR Hendrawan Supratikno kepada Kompas.com, Kamis (5/9/2019).
Baca juga: Tidak Masuk Prolegnas, Mengapa Revisi UU KPK Disetujui?
Hanya saja saat itu revisi UU KPK mendapat penolakan luas dari masyarakat karena dianggap melemahkan lembaga KPK.
Presiden Jokowi pun meminta revisi untuk ditunda. Revisi itu pun baru dihidupkan lagi saat ini, hanya tiga pekan sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 habis.
Hendrawan mengakui ada perubahan dalam draf saat ini jika dibandingan dengan draf 2016 lalu. Kendati demikian, tak ada perubahan yang bersifat substansif.
"Bisa beda dalam formulasi, tetapi pokok-pokok esensinya diyakini masih relatif sama," kata dia.
Baca juga: Wakil Ketua KPK Sebut Revisi UU KPK Bentuk Kebohongan Pemerintah-DPR
Oleh karena itu lah Baleg DPR merasa tak perlu mengundang lagi para pakar hukum pada pembahasan kali ini. Baleg langsung mengajukan RUU ini ke dalam rapat paripurna. Seluruh fraksi pun sepakat RUU KPK ini menjadi inisiatif DPR.
Kini DPR menunggu surat presiden yang menugaskan menterinya untuk membahas RUU. Baleg bertekad mengebut pembahasan revisi itu sehingga bisa selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2019-2024 habis pada 30 September mendatang.
6 poin
Berdasarkan rapat Baleg pada 3 September 2019 dengan agenda pandangan fraksi-fraksi tentang penyusunan draf revisi UU KPK ada enam poin revisi UU KPK.
Pertama, mengenai kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, bersifat independen.
Pegawai KPK ke depan juga akan berstatus aparatur sipil negara yang tunduk pada Undang-Undang ASN.
Sementara itu, status KPK selama ini sebagai lembaga ad hoc independen yang bukan bagian dari pemerintah.
Kedua, kewenangan penyadapan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari dewan pengawas.